Soal Toleransi, Salatiga Juaranya
Rabu, 03 Oktober 2018 Arie Widiarto

AYO BACA : Kota Semarang Bidik 3 Besar Pekan Paralympic Provinsi Jawa Tengah
AYO BACA : Pemkab Grobogan Siap Jemput Korban Kecelakaan
SALATIGA, AYOSEMARANG.COM -- Baru-baru ini Setara Institute mengeluarkan hasil penelitian Indeks Kota Toleran. Dalam penelitian tersebut ada sepuluh kota yang dipilih sebagai kota toleran karena tidak pernah ada peristiwa yang menyebabkan konflik dan pelanggaran kebebasan beragama.
Dari hasil penelitan tersebut kota Salatiga menduduki peringkat ke 2 setelah Pematang Siantar, disusul Singkawang, Manado, Tual, Sibolga, Ambon, Sorong, Pontianak, dan Palangkaraya. Menariknya, Salatiga merupakan satu-satunya kota di Pulau Jawa yang berhasil masuk sepuluh besar, dan masuk peringkat 2.
Predikat sebagai kota toleran memang sangat layak bagi kota kecil yang berpenduduk sekitar 180.000 jiwa ini. Tingkat heterogonitas di kota ini mungkin paling tinggi di Indonesia. Di mana banyak pendatang dari berbagai penjuru dengan budaya yang berbeda pula. Bahkan, terkait soal toleransi ini, jauh-jauh hari sebelum didirikan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), tokoh agama dan masyarakat di kota ini sudah membentuk Majelis Pimpinan Umat Agama Salatiga (Puasa).
Keberagaman di kota ini juga tak terlepas dari Keberadaan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang kebetulan didirikan oleh beberapa gereja dari beberapa kawasan di Indonesia, sehingga banyak mahasiswanya yang datang dari penjuru daerah. Tak sedikit para mahasiswa ini yang kemudian memutuskan menetap di Salatiga setelah lulus, menikah dengan orang dari lain suku pula. Selain UKSW, perguruan tinggi lain yang juga berpengaruh adalah IAIN Salatiga. Keduanya dalam berbagai kegiatan juga selalu menjunjung tinggi toleransi.
Salah satu contoh toleransi paling nyata bisa dilihat di lapangan Pancasila, masjid raya Darul Amal yang berada di kawasan yang sama dengan Gereja Kristen Jawa Salatiga Utara dan HKBP. Di Jalan Jendral Sudirman, masjid Pandawa berhadapan dengan Gereja Kristen Indonesia. Masjid Kauman di Jl KH Wahid Hasyim juga berlokasi tidak jauh dari Gereja Kristen Jawa. Tak hanya itu, masih ada beberapa kawasan yang bercirikan seperti itu. Itu baru soal bangunan, soal saling mendukung kegiatan beragama masing-masing pun juga tinggi. Paling tidak ini terlihat saat mereka saling meminjamkan lahan untuk parkir ketika perayaan hari raya.
"Bahkan, saat pengajian Ahad pagi di Masjid Pandawa, yang dimulai pukul 06.00, saat pukul 07.00 ketika kebaktian gereja dimulai, saat itu juga pengajian selesai untuk menghormati umat di gereja yang sedang kebaktian. Jadi toleransinya sangat tinggi," ungkap Anggota DPRD Kota Salatiga Fathurrahman, kemarin (02/10/2018).
Di sini, umat Nasrani sejak tahun 1970 an, saat tanggal 25 Desember, Badan Kerja Sama Gereja- gereja Salatiga (BKGS) selalu menggelar ibadah Natal bersama. Dalam kegiatan yang diikuti sekitar 10 ribu umat Nasrani dan dilangsungkan di lapangan Pancasila tanpa pernah terjadi gangguan sedikit pun. Di lapangan yang sama pula, saat Idul Fitri juga dipergunakan untuk melaksanakan sholat Id oleh ribuan umat Muslim.
"Toleransi beragama dan pluralisme beragama di Salatiga benar- benar mampu dijaga dengan baik oleh warganya. Hal ini tentunya bukan datang secara tiba- tiba tapi juga peran tokoh agama dan pimpinan daerah di kota ini yang selalu hadir saat perayaan Natal bersama," ungkap dosen UKSW Prof Dr Pdt John A Titaley.
Ia mengungkapkan, untuk ukuran kota kecil berpenduduk sekitar 180.000 heterogenitas agama dan etnis (suku) yang lebih dari 30 merupakan model yang tepat untuk dijadikan miniatur kerukunan umat beragama. Selain itu, menurut dia meski banyak pendatang, budaya asli kota ini juga tidak kalah dan budaya pendatang justru membantu pembangunan karakter di Salatiga yang sejuk.
"Kota dengan dinamika ras dan agama yang beragam dan kuat masing-masing sehingga tidak saling meniadakan namun justru semakin menguatkan," tandasnya.
Senada dengan John A Titaley, tokoh masyarakat Salatiga M Fauzi Arkan mengungkapkan Salatiga mampu memperlihatkan diri sebagai taman mininya Indonesia sekaligus refleksi dari kerukunan umat beragama. Islam, Kristen ,Katolik , Hindu dan Budha serta Konghucu adalah keyakinan yang mewarnai kehidupan beragama di kota sejuk ini.
"Wujud dari toleransi itu sendiri dapat terlihat dari berdirinya bangunan atau tempat ibadah umat beragama tertentu yang berhadapan dengan tempat ibadah penganut agama lainnya," jelasnya.
Pihaknya juga sering menggelar kegiatan bersama melalui forum diskusi antar pemuda dan mahasiswa membahas masalah-masalah yang terkait dengan kerukunan umat beragama dan kegiatan-kegiatan positif lainnya. "Para pemuda di kota ini pun sangat aktif dan mendukung jika kami mengadakan kegiatan yang mendukung penguatan toleransi ini," ujar Fauzi.
Menurutnya dengan spirit perdamaian dan menghargai antar sesama itulah, Salatiga memiliki dasar atau pondasi sebagai kota paling toleran di Jawa. Warga di sini, kata Fauzi meski berbeda tetapi juga tetap menghargai nilai-nilai akidah para pemeluknya.
Ketua DPRD Kota Salatiga, Milhous Teddy Sulistio menambahkan, bahwa DPRD Salatiga kini tengah merancang Peraturan Daerah (Perda) tentang Wawasan Kebangsaan (Wasbang). Harapannya, Kota Salatiga dapat menjadi percontohan kerukunan beragama di Indonesia.
"Jangan jadi orang Salatiga, kalau tidak mau hidup berbhinneka, ini sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat," ucapnya.
AYO BACA : 703 Barang Tertinggal di BRT Trans Semarang
Editor: Rizma Riyandi