Menakar Perlindungan HAM bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

- Selasa, 22 Desember 2020 | 19:39 WIB
Menakar Perlindungan HAM bagi Anak Berkonflik dengan Hukum. (Sumber: Lembaga Pembinaan Khusus Anak Bandung)
Menakar Perlindungan HAM bagi Anak Berkonflik dengan Hukum. (Sumber: Lembaga Pembinaan Khusus Anak Bandung)

AYO BACA : Mengkritik dengan Santun

AYO BACA : Kualitas Manusia Jawa Tengah Beranjak Pelan, Semarang Turun

AYOSEMARANG.COM -- Anak merupakan sebuah bagian tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia, bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak tersebut harus diimplementasikan kepada semua anak, tak terkecuali kepada anak yang melalukan tindak pidana atau disebut Anak yang Berkonflik dengan Hukum.
 
Beberapa bulan terakhir sering kita dengar kasus hukum yang dilakukan oleh anak, yang paling menghebohkan adalah kasus NF remaja berusia 15 tahun di Jakarta yang membunuh teman mainnya kemudian dimasukkan kedalam lemari. Selain itu, banyak pula kasus narkotika, pornografi, dan perundungan yang dilakukan oleh anak. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa Sejak 2011 sampai 2019, jumlah kasus anak berhadapan dengan hukum yang dilaporkan ke KPAI mencapai 11.492 kasus.
 
Keadaan itu tentu membuat kita miris dan prihatin, bahwa anak sebagai generasi penerus bangsa melakukan hal yang demikian. Perilaku anak yang berkonflik dengan hukum tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kemajuan teknologi, lingkungan sosial, keluarga, dan gagalnya tanggung jawab negara untuk memenuhi hak-hak mereka. Kondisi anak yang berkonflik dengan hukum dianggap belum mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagaimana layaknya orang dewasa, oleh karena itu diperlukan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan yaitu dengan perlakuan-perlakuan yang dibedakan daripada orang dewasa.
 
Dalam instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) internasional dan nasional melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa anak-anak dikategorikan sebagai kelompok rentan yang harus mendapatkan perlakukan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Selain itu, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) telah membawa angin segar bagi pelaksanaan pembaruan Peradilan Pidana Anak karena terdapat paradigma baru yaitu menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative jusctice), terdapat pidana alternatif lainnya, dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. UU SPPA ini menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dianggap belum dapat melaksanakan pemenuhan dan perlindungan hak anak. 
 
Kewajiban Perlindungan Hak Asasi Manusia 
 
10 Desember 2020, dunia sedang memperingati Hari HAM yang sejarahnya diawali dengan diadopsinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Majelis Umum PBB di tahun 1948. Dua tahun berselang Majelis Umum PBB menerbitkan resolusi 423 yang kemudian menetapkan setiap tanggal 10 Desember sebagai Hari Hak Asasi Manusia. Pada tahun ini, Hari HAM mengambil tema “Recover Better – Stand Up For Human Rights”. Tema tersebut berfokus pada kondisi pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia agar penanganannya mampu berkembang lebih baik lagi dan memastikan HAM terlindungi sebagai upaya pemulihan. Walupun demikian, tema tersebut juga sejalan dengan usaha perlindungan HAM bagi anak berkonflik dengan hukum yang tujuan akhirnya adalah pemulihan kembali pada keadaan semula.
 
Konvensi Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalaui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak-hak Anak) merupakan salah satu standar HAM internasional bagi anak yang harus dilaksanakan di Indonesia. Perlindungan HAM anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan dengan cara menjamin hak-haknya dalam proses peradilan seperti hak untuk diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya, hak untuk dipisahkan dari orang dewasa, hak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya, hak untuk tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, hak untuk tidak dipublikasikan identitasnya, dan hak memperoleh pendidikan, hingga hak untuk tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
 
Pada kenyataanya, banyak anak berkonflik dengan hukum tidak mendapatkan hak-hak tersebut, seperti hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagain besar anak yang melalukan tindak pidana dengan statusnya sebagai pelajar akan dikeluarkan dari sekolah karena dianggap melakukan pelanggaran tata tertib, meskipun kasus anak tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap dari pengadilan. Tata tertib sekolah seperti ini dapat membuat semakin melekatnya stigma negatif kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Padahal, terhadap anak yang telah divonis bersalah oleh pengadilan sekalipun, anak tersebut tetap memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan negara wajib menyelenggarakan proses pendidikan tersebut. Untungnya sebagian besar Lapas Anak yang kini disebut dengan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) telah menyelenggarakan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sehingga anak yang divonis penjara tetap dapat mengikuti pendidikan.
 
Selain itu, berkaitan dengan hak untuk tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat, hal ini juga belum dapat dipenuhi secara maksimal. Berdasarkan penelitian dari Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) pada 2018 lalu bahwa dari total 304 Anak yang diteliti, 93,75% Anak dikenakan penahanan. Tidak hanya dikenakan penahanan, riset tersebut juga menemukan adanya anak yang ditahan melebihi waktu yang diizinkan di dalam UU SPPA. Sedangkan pemenjaraan setidaknya dikenakan pada 86% anak di persidangan tingkat pertama. Selain itu, setidaknya 80% Penuntut Umum dalam tuntutannya, menuntut anak dengan pidana penjara. Sedangkan menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM per 31 Oktober 2020, jumlah anak yang divonis penjara dan ditempatkan di LPKA adalah sebanyak 1.702 Anak. Dari data tersebut menunjukkan bahwa hak anak untuk tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir belum dilaksanakan secara maksimal oleh aparat penegak hukum kita, padahal dalam UU SPPA terdapat alternatif pemidanaan yang lain seperti pengenaan tindakan melalui perawatan di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS), pidana bersyarat, pelayanan masyarakat, maupun pelatihan kerja.
 
Tentunya kewajiban perlindungan HAM harus dilakukan oleh negara melalui pranata/lembaga penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang berlandaskan pada Undang-undang Dasar 1945, instrumen HAM nasional dan internasional, prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak, serta peraturan perundang-undangan terkait.
 
Penguatan Peran Pembimbing Kemasyarakatan
 
Mungkin sebagian orang tidak tahu dan asing terhadap profesi Pembimbing Kemasyarakatan, padahal perannya begitu penting dalam sistem peradilan pidana anak dan sistem pemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana.  Dalam penanganan anak berkonflik dengan hukum Pembimbing Kemasyarakatan mempunyai peran pada tiga tahap yaitu : (1) Tahap Pra Ajudikasi, yakni melakukan pendampingan penyidikan di kepolisian; (2) Tahap Ajudikasi, yakni melakukan pendampingan pada saat sidang di pengadilan; dan (3) Tahap Pasca Ajudikasi, yakni pengawasan dan pembimbingan setelah anak berkonflik dengan hukum mendapat putusan hakim.
 
Dalam pendampingan tersebut, Pembimbing Kemasyarakatan memastikan hak-hak anak dapat terpenuhi dengan baik. Selain itu, Pembimbing Kemasyarakatan juga membuat laporan penelitian kemasyarakatan yang berisi data pribadi anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial, latar belakang dilakukanya tindak pidana, keadaan korban, asesmen, hak-hak yang harus dipenuhi, dan hal lain yang dianggap perlu, serta kesimpulan dan rekomendasi terkait kasus anak tersebut. Laporan penelitian kemasyarakatan ini digunakan sebagai salah satu pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sebagaimana dijelaskan pasal 60 ayat (3) UU SPPA bahwa Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara. Bahkan dalam pasal 60 ayat (4) dijelaskan dalam hal laporan penelitian kemasyarakatan tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim, maka putusan batal demi hukum.
 
Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam penanganan anak berkonflik dengan hukum harus semakin diperkuat agar penanganan yang dilakukan dapat memenuhi rasa keadilan dan mewujudkan sistem peradilan pidana anak yang berfokus pada kepentingan terbaik bagi anak, serta menjamin perlindungan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). 
 
Penulis: Puguh Setyawan Jhody, S.H., Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Unnes

AYO BACA : Mahasisiwi KKN Kaji Fiqih Perempuan Bersama Remaja Perumahan

Editor: Abdul Arif

Tags

Rekomendasi

Terkini

Inovasi Dalam Pendidikan Tak Bisa Ditunda  

Kamis, 4 Januari 2024 | 18:15 WIB

Peran Bermain Dalam Pembelajaran

Kamis, 28 Desember 2023 | 14:49 WIB

Menolak Hasil KLB, PGRI Jateng Bersikap Profesional

Selasa, 21 November 2023 | 14:12 WIB

Menjadi Negarawan Bijak

Senin, 20 November 2023 | 18:25 WIB

UU 20/2023: PNS vs PPPK, Pilih Mana?

Jumat, 10 November 2023 | 22:18 WIB

Menjaga Soliditas Organisasi PGRI

Senin, 6 November 2023 | 14:18 WIB

Mencermati Gaya Komunikasi Politisi Muda

Rabu, 27 September 2023 | 20:38 WIB

Komunikasi Manipulatif dan Karakter

Kamis, 21 September 2023 | 13:13 WIB

Membaca Ulang Wajah Mulus Para Caleg

Kamis, 14 September 2023 | 21:31 WIB

Media Penyiaran Publik dan Public Service Media

Rabu, 30 Agustus 2023 | 22:38 WIB

Ancaman Radikalisme Siber: Sampai Kapan?

Senin, 21 Agustus 2023 | 17:17 WIB

Memenangkan Kesabaran Dalam Diri

Jumat, 18 Agustus 2023 | 06:46 WIB

Semua Karena Jokowi

Senin, 14 Agustus 2023 | 15:06 WIB

Ketetapan Allah Pasti Yang Terbaik Bagi Kita

Senin, 14 Agustus 2023 | 13:59 WIB
X