bisnis

Scoopy Merah dan Jalan Sunyi Seorang Pejuang Keluarga di Semarang

Senin, 23 Juni 2025 | 13:16 WIB
Motor Honda Scoopy. (dok.)

 

SEMARANG, AYOSEMARANG.COM - Setiap pagi, bahkan sebelum matahari sepenuhnya membuka matanya, sebuah motor Honda Scoopy berwarna merah marun sudah melaju membelah dinginnya udara kota Semarang. Di atasnya, Bagas (27), pemuda asal Ngaliyan, mengayuh harapan yang tak pernah putus—harapan untuk ibu dan adik perempuannya yang kini menjadi satu-satunya alasan ia terus bertahan.

Bagi Bagas, Scoopy ini bukan sekadar kendaraan. Ia adalah saksi hidup, teman setia, bahkan bagian dari dirinya. “Namanya Scoopy… udah kayak teman hidup. Dulu saya punya Scoopy 2020, tapi tahun lalu saya jual buat beli yang baru ini,” ucapnya lirih, saat ditemui di tepi jalan kawasan Simpang Lima, pertengahan Juni 2025. Ia menolak difoto, bukan karena malu, tapi karena baginya, cerita ini bukan tentang pencitraan, ini tentang perjuangan.

Sejak sang ayah berpulang karena sakit, Bagas menggenggam tanggung jawab sebagai kepala keluarga tanpa pernah mengeluh. Ia menjalani hari-harinya sebagai pekerja serabutan: kurir roti di pagi hari, ojek online di siang dan sore, lalu pengantar makanan hingga larut malam. Semuanya ia lakoni demi satu tujuan: menjaga ibu dan menyekolahkan adik perempuannya.

Pukul 05.30, saat kebanyakan orang masih terlelap, Scoopy merah itu sudah siap tempur. Ia mengantar adiknya ke sekolah, membeli kebutuhan di pasar untuk sang ibu, lalu meluncur ke Tembalang untuk mengambil pesanan roti. Dari sana, hari panjang dimulai, berkeliling kota, mengantarkan harapan dari satu pintu ke pintu lain.

“Kadang nggak sempat makan. Tapi ya dinikmati aja. Yang penting keluarga bisa tetap jalan,” ucapnya sambil menatap ke kejauhan. Ada lelah di matanya, tapi juga ada semangat yang tak padam.

Scoopy-nya bukan hanya alat bantu, tapi sahabat dalam sunyi. “Pernah jatuh, pernah kejebak banjir di Kaligawe pas antar paket ke Terboyo, tapi motor ini selalu bisa diajak jalan lagi,” kenangnya, tersenyum kecil.

Di tengah lalu lintas Semarang yang semakin padat, Scoopy dan Bagas menjadi denyut nadi kota yang kadang tak terlihat. Mereka menyusuri gang-gang sempit, mendaki tanjakan di Sam Poo Kong, hingga menerobos riuhnya kawasan Kota Lama, semua demi kelangsungan hidup yang ia perjuangkan dengan diam-diam.

Dengan penghasilan harian sekitar Rp150.000–200.000, Bagas tak pernah merasa kurang. Ia bersyukur karena dari hasil itu, ia mampu menyekolahkan adiknya yang kini duduk di bangku SMA, dan memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka yang sederhana, namun penuh cinta.

Kisah Bagas dan Scoopy mungkin tak akan tercatat dalam buku sejarah. Tapi di balik deru mesin kecil dan roda yang terus berputar, tersembunyi kisah tentang cinta yang tulus, pengorbanan yang tanpa pamrih, dan keberanian seorang anak muda menjaga keluarganya, tanpa tepuk tangan, tanpa sorotan, tapi dengan sepenuh hati***

Tags

Terkini