JAKARTA, AYOSEMARANG.COM —
Bertempat di Ruang Sidang Gedung 2 Lantai 4 Mahkamah Konstitusi, perkara permohonan Nomor 90/PUU-XXIII/2025 terkait pengujian materiil Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 memasuki tahap pemeriksaan pendahuluan pertama. Permohonan ini menguji ketentuan tentang ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik, sebagaimana telah dimaknai melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Sidang yang berlangsung pada pukul 15.00 WIB dipimpin oleh Majelis Hakim Panel Mahkamah Konstitusi yang terdiri atas Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., Dr. Ridwan Mansyur, S.H., dan Dr. Arsul Sani, S.H., M.Si., Pr.M. Sidang ini turut dihadiri oleh para pemohon dan kuasa hukum mereka, baik secara luring maupun daring. Para pemohon tersebut antara lain: Khalid Irsyad Januarsyah (Pemohon I), Robby Ardiansyah (Pemohon II), Zamroni Akhmad Affandi (Pemohon III), Panji Muhammad Akbar (Pemohon IV), Zahira Nurmahdi Hanafia (Pemohon V), Muhammad Aziz (Pemohon VI), Muhamad Faisal Hamdi (Pemohon VII), dan Hasan Kurnia Hoetomo (Pemohon VIII), dengan kuasa hukum Gilang Muhammad Mumtaaz, S.H.
Pemeriksaan pendahuluan ini merupakan pelaksanaan amanah Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020. Inti dari pemeriksaan ini adalah untuk memastikan apakah para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan hubungan kepentingan langsung dengan norma yang diuji, sebelum perkara dilanjutkan ke tahap pemeriksaan persidangan.
Dalam permohonan ini, para pemohon mempersoalkan konstitusionalitas ketentuan ambang batas pengusulan pasangan calon kepala daerah. Ketentuan tersebut saat ini menetapkan ambang batas sebesar 6,5% hingga 10% suara sah, disesuaikan dengan jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap. Formulasi ini juga diselaraskan dengan ambang batas bagi calon perseorangan.
Menurut para pemohon, ketentuan tersebut mencederai hak konstitusional mereka sebagai pemilih. Mereka menilai ambang batas ini membatasi variasi calon kepala daerah, tidak merepresentasikan preferensi pemilih, menghambat partisipasi politik, serta menyebabkan maraknya calon tunggal dalam Pilkada. Selain itu, aturan ini dianggap memperkuat hegemoni partai politik dan membuka peluang praktik transaksional, tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam kebijakan hukum terbuka (open legal policy), serta bertentangan dengan semangat penyamaan rezim antara pemilihan presiden dan kepala daerah, seperti yang tercermin dalam penghapusan presidential threshold melalui Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024. ***