Tak berhenti di dukungan secara materi, Bang Simon mulai memikirkan sisi keselamatan pemain. Cedera dalam tarkam adalah risiko yang kerap terjadi, namun jarang ada jaminan.
Makanya, ia berencana menyediakan BPJS Kesehatan bagi para pemain yang tampil di turnamen-turnamennya.
“Pemain itu aset,” katanya tegas. “Kalau mereka cedera, harus ada yang menanggung. Mereka jangan sampai pulang bawa sakit dan biaya," ujarnya.
Ide itu belum sepenuhnya berjalan, tetapi bagi Bang Simon, setiap langkah kecil harus dimulai dari keberanian memikirkan hal besar.
Di balik kecintaannya pada sepak bola kampung, Bang Simon menyimpan mimpi jauh lebih besar: membentuk sebuah tim profesional.
Namun bukan tim profesional yang dikuasai pemodal semata. Ia ingin klub itu dibangun oleh komunitas sepak bola Semarang—terutama suporter.
“Kalau klub itu didanai bareng-bareng, suporter juga harus bisa menentukan keputusan. Bukan cuma pemodal saja," kata Bang Simon yang juga ketua Paguyuban Pedagang Pasar Johar.
Ia memberi contoh Riverside Forest FC di Bandung, klub berbasis komunitas yang sering ia jadikan referensi.
“Di sana, suporter punya suara. Ada demokrasi sepak bola. Di Semarang harusnya bisa begitu," sambungnya.
Tanpa menyebutkan secara frontal, Bang Simon menyinggung bagaimana di klub-klub besar seperti PSIS, keputusan strategis tetap berada di tangan pemilik modal.
“Suporter itu nonton, bayar tiket, beli merchandise, tapi tetap nggak bisa ambil keputusan. Klub anggota di Askot pun nggak punya ruang,” katanya.
Perubahan dari Akar Rumput
Bang Simon sadar mimpi itu tak akan terwujud dalam waktu dekat. Namun ia percaya jalan menuju revolusi sepak bola Semarang dimulai dari hal paling dasar: menghidupkan komunitas.
“Kalau akar rumputnya kuat, nanti tumbuhannya juga kuat. Saya yakin suatu hari akan ada perubahan besar di kota ini," ucapnya.
Dari lapangan-lapangan kampung yang berdebu hingga percikan mimpi tentang klub profesional milik komunitas, Bang Simon menjahit gagasan besar lewat langkah kecil yang ia lakukan hari ini.