Dia menambahkan, penyelenggaraan Pemilu ulang juga akan menjadi koreksi bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Untuk itu, sangat penting bagi masyarakat untuk menilai perilaku partai politik dan penguasa, sehingga tidak mudah dimanipulasi oleh permainan politik dan tekanan kekuasaan saat Pemilu Ulang.
Dia menjelaskan, tidak sedikit analisis yang menyebut pemilih Indonesia ingatannya tidak panjang. Hal itu yang membuat pemilih bisa melupakan kesalahan dan kejahatan seorang caleg atau capres, yang kemudian terpilih atau menang di Pemilu.
Padahal, ingatan tentang perilaku parpol dan penguasa sangat penting, karena saat penyelenggaraan pemilu biasanya terjadi komplikasi politik, juga kamuflase yang dapat mengelabui pemilih.
Dia mengatakan, meskipun posisi MK sulit, namun diharapkan dapat membuat putusan yang menjawab kegelisahan masyarakat, juga para guru besar, dan civil society, terkait dengan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang menabrak konstitusi, mencederai demokrasi, dan sarat dengan kecurangan juga intimidasi.
Hal itu, lanjut Ikrar, disebabkan kalangan akademisi, dan civil society sebenarnya tidak menginginkan negeri ini kembali mengalami carut-marut seperti pada Reformasi 1998 dan tragedi PKI pada 1965.
"Bagaimanapun yang namanya guru besar termasuk saya juga berpikiran sama, tetap memikirkan nasionalisme maksud saya persatuan dan kesatuan bangsa. Kita enggak mau negeri ini carut-marut kembali seperti yang terjadi pada pada 1998 atau pada tahun 1965," ungkap Ikrar. (*)