Feri menyebut bahwa besarnya dana ganti rugi yang dikeluarkan, yakni Rp39,8 miliar, menjadi kejanggalan tersendiri. Dana tersebut berasal dari anggaran pemerintah untuk pengadaan lahan proyek kolam retensi yang seharusnya mendukung pengendalian banjir.
Namun, ironisnya, dana besar tersebut justru digunakan untuk membayar kompensasi atas tanah negara yang seharusnya tidak perlu diganti rugi sama sekali.
Proses ganti rugi lahan melibatkan banyak pemangku kepentingan di tingkat daerah. Di antaranya, Dinas PUPR Kota Palembang, Bagian Pertanahan, Bapenda, Bappeda, BPN Kota Palembang, hingga pemerintah kecamatan setempat.
Menurut Feri, semua pihak tersebut tentu mengetahui bahwa lahan yang diganti rugi adalah tanah konservasi. Ia mendesak agar seluruh pihak yang terlibat dalam tim ganti rugi diperiksa secara menyeluruh.
“Tim ini sudah pasti melakukan survei lapangan dan rapat koordinasi. Jadi tidak mungkin mereka tidak tahu status tanah yang mereka ganti rugi,” tegasnya.
Kasus ini menambah panjang daftar dugaan praktik mafia tanah di Indonesia, khususnya di wilayah Palembang.
Feri menilai pola permainan dalam kasus ini mirip dengan modus-modus mafia tanah lainnya, di mana lahan negara disertifikasi atas nama individu untuk kemudian diganti rugi oleh pemerintah.
“Ada indikasi keterlibatan mafia tanah yang mengatur jalannya proses dari awal hingga akhir, termasuk siapa saja yang dijadikan ‘pemilik’ lahan,” ujarnya menutup pernyataan.