AYOSEMARANG.COM - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu.
Hal tersebut disampaikan Mahfud MD setelah mengikuti rapat internal yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 2 Mei 2023.
Meski tidak ada permintaan maaf, tetapi pemerintah mengakui pelanggaran HAM berat di masa lalu memang terjadi dan pemerintah menyesalkan terjadinya peristiwa itu.
Baca Juga: Tanggapan Mahfud MD saat Disebut Cocok Jadi Cawapres Prabowo Subianto
"Di dalam rekomendasi penyelesaian non-yudisial itu, tidak ada permintaan maaf dari Pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu; tetapi Pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan Pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," kata Mahfud sebagaimana dikutip Suara.com.
Adapun Jokowi telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat.
Inpres itu berisikan penugasan kepada 19 kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L) untuk melaksanakan rekomendasi PPHAM, yakni memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran HAM berat berat secara adil dan bijaksana serta mencegah agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi.
"Jadi, tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Misalnya, TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap berlaku sebagai ketetapan yang tidak diubah, kemudian mengenai peristiwa yang sudah diputuskan oleh pengadilan juga tetap berlaku," tambahnya.
Artinya, menurut Mahfud, kinerja Tim Pemantau PPHAM fokus pada korban pelanggaran HAM berat masa lalu terhadap 12 peristiwa.
Baca Juga: Presiden Jokowi Akui 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang Terjadi pada 1964-2003
"Peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah, karena menurut undang-undang yang menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM; dan Komnas HAM merekomendasikan 12 yang terjadi sejak puluhan tahun lalu," ungkap Mahfud.
Ke-12 peristiwa tersebut adalah Peristiwa tahun 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung tahun 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh tahun 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei tahun 1998.
Selanjutnya ialah Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II tahun 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet tahun 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999, Peristiwa Wasior di Papua tahun 2001-2002, Peristiwa Wamena di Papua tahun 2003, serta Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.
"Saya ingin masyarakat paham perbedaan antara pelanggaran HAM berat dan kejahatan berat. Pelanggaran HAM berat itu dititikberatkan pada unsurnya, di mana pelakunya melibatkan aparat secara terstruktur. Mungkin korbannya hanya dua atau tiga orang, tetapi itu bisa jadi pelanggaran HAM berat; tapi kalau pelakunya itu sipil terhadap sipil, lain. Meski korbannya ratusan, seperti peristiwa bom Bali, itu bukan pelanggaran HAM berat tapi kejahatan berat; supaya dimengerti," jelasnya.