netizen

Unfinished Movement di Indonesia (Demonstrasi Agustus 2025), Kampanye Aksi Damai, dan Bayangan Darurat Militer: Perspektif Herbert Marcuse

Jumat, 12 September 2025 | 14:13 WIB
John Abraham Ziswan Suryosumunar, Kandidat Doktor Filsafat UGM (Dok John AZS)

AYOSEMARANG.COM -- Aksi massa yang terjadi di wilayah ibu kota dan menyebar secara organis di beberapa kota besar di Indonesia pada 25–31 Agustus 2025 lahir dari akumulasi keresahan publik atas memburuknya kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Kenaikan harga kebutuhan pokok, ketidakpastian kerja, kenaikan pajak yang membebani masyarakat, disertai dengan kenaikan tunjangan legislatif yang kontras dengan penderitaan rakyat, memunculkan rasa ketidakadilan yang tajam. Di saat yang sama, sikap pejabat yang kerap dianggap nir-empati memperlebar jurang antara penguasa dan rakyat. Selain itu, faktor lain adalah menguatnya represi aparat yang ditandai gugurnya Affan Kurniawan, seorang driver ojol, usai dilindas mobil rantis Brimob menjadi pemicu ledakan kemarahan kolektif masyarakat. Gelombang demonstrasi ini sempat menunjukkan daya tarik besar, terutama di kalangan mahasiswa, pelajar, dan kelas pekerja urban yang terdampak secara langsung.

Di tengah eskalasi aksi tersebut, secara singkat terjadi pembalikan arah. Terdapat semacam strategi pengendalian wacana untuk meredam dan memecah gerakan massa tersebut. Media arus utama dan jejaring influencer populer terkesan diarahkan untuk mengampanyekan narasi “aksi damai”, seraya menebar bayangan ancaman “darurat militer” jika aksi dianggap anarkis. Alhasil, momentum yang seharusnya dapat berkembang menjadi gerakan perubahan justru terseret ke dalam format protes aman, tertib, dan berada di bawah kendali kuasa.

Konteks ini menjadi pintu masuk untuk membaca fenomena tersebut melalui sudut pandang Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man, di saat kritik, negasi, dan potensi pembebasan selalu tereduksi menjadi bagian dari sistem yang hendak dilawan. Dengan perspektif ini, aksi massa Agustus 2025 dapat dipandang sebagai sebuah "unfinished movement": letupan energi yang tak sempat menemukan arah ideologis dan praksisnya, karena segera diserap, dinetralisir, dan dijinakkan melalui mekanisme kultural dan teknologi komunikasi modern.

1. Aksi Massa sebagai Letupan Dua Dimensi yang Dipaksa Menyatu

Aksi massa merepresentasikan “dimensi kedua”, ruang negasi, kritik, dan potensi pembebasan terhadap sistem hegemonik. Namun, melalui propaganda dan kontrol media, terutama dengan penggunaan influencer yang di-endorse oleh pihak penguasa, energi ini dilipat kembali ke “satu dimensi" yakni ruang wacana aman, tertib, dan sesuai kepentingan status quo. Alih-alih menjadi ruang perlawanan yang dekonstruktif untuk melawan sistem yang tak berkeadilan, aksi dipaksa tampil sebagai “ekspresi demokratis” yang jinak, sekadar ritual simbolik tanpa menimbulkan perubahan struktural.

2. Propaganda Aksi Damai dan Ketakutan Darurat Militer sebagai Represi dalam Bentuk Baru

Herbert Marcuse menekankan bahwa represi modern tidak hanya hadir dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga dalam bentuk “represi yang tertutup dalam kenikmatan” (repressive desublimation). Influencer yang mempropagandakan aksi damai menyalurkan hasrat kolektif untuk protes, tetapi sekaligus mengikatnya dalam format aman dan terukur, sehingga tuntutan yang substansial tidak berkembang. Melalui para influencer, massa ditakuti dengan momok atau bayangan darurat militer dan kampanye “aksi damai” sebagai katarsis massal yang terkendali, di mana massa merasa sudah melakukan perlawanan, padahal hanya bergerak dalam arena yang didesain oleh kekuasaan.

3. Masyarakat Satu Dimensi dan Penjinakan Imajinasi Politik

Marcuse berpendapat masyarakat satu dimensi mengikis kemampuan berpikir kritis dan membayangkan alternatif yang radikal. Di Indonesia, penggunaan influencer populer untuk mengampanyekan aksi damai menunjukkan bagaimana imajinasi politik massa diarahkan agar tidak melampaui horizon kapitalisme-otoritarian yang mapan. Dengan demikian, alih-alih membuka kemungkinan perubahan, gerakan massa justru direduksi menjadi performativitas politik di media sosial sekedar tontonan yang mudah diserap publik, tapi tidak menantang sistem.

4. "Unfinished Movement" sebagai Simptom

Ketidakselesaian (unfinished) gerakan 25-31 Agustus 2025 menunjukkan bahwa protes tidak pernah sampai pada tahap hegemonik, melainkan tersangkut dalam jebakan satu dimensi. Sistem berhasil memfasilitasi, mengkondisikan, dan bahkan mengkonsumsi energi protes itu sendiri. Namun, unfinished movement ini sekaligus menyimpan potensi. Dalam kacamata Herbert Marcuse, bahkan fragmen perlawanan yang tak selesai bisa menjadi tanda retakan dalam struktur satu dimensi. Yang menentukan adalah apakah retakan ini kelak dapat dipelihara dan dikembangkan menjadi basis kesadaran baru.

Kesimpulannya bahwa aksi massa Agustus 2025 yang direduksi menjadi “aksi damai” lewat propaganda influencer menunjukkan bagaimana logika masyarakat satu dimensi bekerja di Indonesia: setiap upaya negasi akan langsung diserap dan dinetralkan dalam wacana aman, indah, dan dapat dikonsumsi publik. "Unfinished movement" ini menggambarkan dilema kontemporer: energi kolektif ada, api perjuangan mampu terpantik, tetapi secara singkat dapat padam terjebak di dalam mekanisme represi kultural yang halus. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana membuka kembali “dimensi kedua” yang menjadi ruang negasi radikal, agar gerakan tidak berhenti sebagai ritus demokratis yang tak berdaya.

Berdasar perspektif Marcuse, perlu ada upaya untuk senantiasa merawat “dimensi kedua”, yakni ruang negasi dan imajinasi politik alternatif yang menolak tunduk pada logika dominan. Artinya masyarakat tidak boleh berhenti pada kepuasan semu yang ditawarkan propaganda damai melalui ilusi partisipasi politik yang sebenarnya sudah ditata oleh sistem. Narasi darurat militer yang ditebarkan untuk menakuti massa juga harus dipahami sebagai bentuk represi simbolik yang menghambat keberanian kolektif. Kesadaran kritis harus diarahkan untuk membongkar mekanisme ketakutan ini, agar masyarakat tidak terus-menerus tunduk pada ilusi keamanan dan kenyamanan yang justru membelenggu. Tanpa langkah itu, protes hanya akan menjadi tontonan, bagian dari konsumsi budaya massa, bukan jalan menuju perubahan.

*) Penulis: John Abraham Ziswan Suryosumunar, Kandidat Doktor Filsafat UGM

Tags

Terkini

Perlukah Outsourcing Dihapus?

Kamis, 8 Mei 2025 | 11:28 WIB