Matinya Empati Anggota Dewan: Antara Tunjangan dan Amanah Rakyat

photo author
- Rabu, 27 Agustus 2025 | 15:30 WIB
Furqon Karim,  Praktisi Manajemen SDM, Dewan Penasihat PHRD Jawa Tengah, Dewan Pembina PMSM Jawa Tengah. (dok pribadi.)
Furqon Karim, Praktisi Manajemen SDM, Dewan Penasihat PHRD Jawa Tengah, Dewan Pembina PMSM Jawa Tengah. (dok pribadi.)

AYOSEMARANG.COM -Memperoleh kabar bahwa ribuan buruh akan memenuhi jalanan Jakarta dan kota-kota besar lainnya pada Kamis (28/8/2025). Dari Medan hingga Jayapura, suara mereka sama: meminta keadilan ekonomi dan menghapus berbagai pajak yang dianggap mencekik.

Mereka mendesak penghapusan pajak penghasilan, pajak pesangon, pajak THR, hingga pajak JHT, serta menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp4,5 juta menjadi Rp7,5 juta.

Di sisi lain, publik dikejutkan oleh kebijakan DPR yang memberi tunjangan rumah Rp50 juta per bulan sebagai pengganti rumah dinas. Dengan tunjangan itu, penghasilan anggota dewan disebut telah menembus Rp100 juta per bulan.

Kebijakan ini memicu kemarahan masyarakat, terlebih di tengah maraknya PHK massal dan kondisi ekonomi yang serba sulit.
Aksi “Bubarkan DPR” yang digelar 25 Agustus lalu menjadi simbol kegeraman rakyat. Media internasional, termasuk Channel News Asia (CNA), menyoroti demonstrasi ini sebagai bukti ketidakpuasan yang meluas. Pertanyaannya, di mana empati wakil rakyat saat rakyatnya terjepit?

Sebagai pemegang mandat publik, anggota dewan seharusnya menjadi yang pertama merasakan denyut keresahan masyarakat. Menunda fasilitas mewah atau meninjau ulang kebijakan yang berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial bukanlah kelemahan, melainkan wujud kepekaan.

Aksi di Pati yang berlangsung lebih awal seharusnya menjadi pembelajaran penting bagi para anggota dewan yang terhormat. Namun, yang tampak justru sebaliknya. Mereka seolah buta mata dan buta hati terhadap situasi yang sedang dihadapi masyarakat.

Buruh tidak meminta kemewahan. Mereka meminta keadilan yang masuk akal: pajak yang ringan, pendapatan yang lebih manusiawi, dan ruang dialog yang terbuka sebelum kebijakan diambil. Empati diukur bukan dari berapa banyak yang diambil negara, tetapi seberapa besar kelegaan yang dirasakan rakyatnya.

Kini bola ada di tangan DPR dan pejabat publik lainnya. Apakah mereka akan mendengar dan merespons? Ataukah empati akan terus hilang di balik angka-angka tunjangan yang menggiurkan?


Penulis : Furqon Karim,
Praktisi Manajemen SDM
Dewan Penasihat PHRD Jawa Tengah, Dewan Pembina PMSM Jawa Tengah.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: arri widiarto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Perlukah Outsourcing Dihapus?

Kamis, 8 Mei 2025 | 11:28 WIB
X