Menanam Harapan di Tengah Krisis Iklim “Cagar Pangan” Dari Kopi, Bunga, hingga Teh Tisane

photo author
- Senin, 20 Oktober 2025 | 19:07 WIB
Andrian dan racikan bahan teh tisane dari kebun Cagar Pangan. (Dok Retno Manuhoro.)
Andrian dan racikan bahan teh tisane dari kebun Cagar Pangan. (Dok Retno Manuhoro.)

AYOSEMARANG.COM -Di Desa Cukil, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, lahan seluas 3.000 meter persegi menjadirumah bagi ratusan tanaman yang tumbuh berdampinganseperti kopi arabika, pepaya, alpukat, rempah-rempah, danbunga-bunga liar yang memikat serangga penyerbuk. Di sanalah, Eko Purnomowidi dan keluarganya membangunsebuah ruang hidup yang mereka sebut “Cagar Pangan.”

Gagasan itu muncul pada Desember 2019, di tengah kecemasanakan perubahan iklim dan ketakutan bahwa kopi suatu saat akanpunah.
“Daripada terus takut dan overthinking, lebih baik kitabergerak,” ujar pendiri Cagar Pangan, Eko Purnomowidi.

Di berbagai belahan dunia, perubahan iklim telah menekanproduksi kopi arabika. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa pada 2050, lebihdari separuh wilayah penanaman kopi arabika berisikokehilangan produktivitas akibat suhu ekstrem dan perubahanpola hujan. Indonesia, sebagai salah satu produsen kopi utamadunia, tidak luput dari dampaknya dimana curah hujan takmenentu, serangan hama meningkat, dan zona tanam bergeser kedataran lebih tinggi.

Di balik kecemasan warga dunia itu, Eko justru melakukansebuah eksperimen paling berani yaitu menanam kopi Arabikadi ketinggian 780 meter di atas permukaan laut. Padahal, lazimnya, Arabika tumbuh ideal di atas 1.000 meter. Namun, melalui penciptaan iklim mikro dan sistem Talun, merekamembuktikan bahwa kopi Arabika tetap bisa tumbuh subur di dataran yang lebih rendah.

“Kami tidak menanam kopi di hutan, tapi kami merancangkebun agar menjadi hutan,” ujar Andrian putra Eko.

Eko menanam 170 pohon kopi dari delapan varietas di lahanyang hanya 780 meter di atas permukaan laut, sebuah ketinggianyang dianggap terlalu rendah untuk arabika. Namun waktumembuktikan, kopi-kopi itu tumbuh, berbunga, dan berbuah.
Di tengah narasi ketakutan tentang krisis iklim, Cagar Panganmenawarkan jawaban sederhana mulai dari tanah yang ada, pemeliharaan, dan tanam kembali.

Eko dan tim memulai dari hal mendasar yakni membuat bioporiagar air hujan terserap ke tanah, menanam bunga agar lebah danburung datang. Ia lantas menanam kopi dan pohon pelindungmulai dari sawo, durian, rambutan hingga nangka. Kini, tercatatsetidaknya terdapat 118 pohon buah yang tumbuh menaungiratusan tanaman rempah dan bunga. Hal ini menjadikan kebunini sebagai ekosistem mikro yang seimbang.

“Yang penting adalah iklim mikro, kalau semua orang menjagaiklim mikronya masing-masing, pemanasan global bisaberhenti,” kata Eko dalam sebuah perbincangan.

Iklim mikro yang ia maksud adalah sistem keseimbangan lokalyakni tanah yang lembap, pohon pelindung yang meneduhkan, dan udara yang stabil. Ketika kebun kecil bisa mempertahankankesejukannya, maka bumi pun ikut bernapas lebih lega.

Kini, pengelolaan Cagar Pangan diteruskan oleh Andrian, putraEko, bersama rekan-rekan muda yang tumbuh dari semangatyang sama yakni melestarikan pangan dan merawat tanah. Mereka mengolah hasil kebun menjadi minuman herbal dan tehtisane dari bunga serta rempah. Mereka menjadikan CagarPangan tak hanya sebagai kebun, tetapi juga kafe berkearifanlokal yang memuliakan hasil bumi sekitar. Cagar Pangan adalahlaboratorium hidup tentang planetary health sebuah konsepglobal yang menekankan bahwa kesehatan manusia bergantungpada kesehatan bumi.
Hubungan antara tanah yang subur, udara yang bersih, panganlokal, dan kesejahteraan masyarakat desa merupakan rantaikehidupan yang saling terkait.

Bagi Andrian, menjaga pangan berarti menghormati tanah, air, dan waktu yang dibutuhkan untuk menumbuhkan kehidupan.
Lebih dari sekadar tempat makan, Cagar Pangan juga menjadiruang belajar diantara melalui beberapa program-progam pendektapi berkesinambungan. Misalnya kegiatan “Tamasya Desa” dan“Meramban Rasa”, pengunjung diajak menelusuri sawah, mengenal tanaman liar, dan belajar tentang pangan lokal sertakedaulatan petani.***

Penulis: Retno Manuhoro S,
Simpul Jateng The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: arri widiarto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Perlukah Outsourcing Dihapus?

Kamis, 8 Mei 2025 | 11:28 WIB
X