SEMARANG, AYOSEMARANG.COM — Isu penghentian pergelaran wayang kulit malam Jumat Kliwon di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Kota Semarang memantik keprihatinan banyak pihak, terutama para pelaku dan pecinta seni tradisi. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa kegiatan seni budaya yang sudah berlangsung sejak tahun 1991 itu akan “diliburkan” karena adanya kebijakan penghematan anggaran dari Pemerintah Kota Semarang.
Padahal, pertunjukan ini bukan sekadar tontonan rutin. Bagi warga Semarang dan para pemerhati budaya, wayang kulit malam Jumat Kliwon adalah denyut nadi warisan leluhur yang sudah melekat kuat dalam ingatan kolektif masyarakat.
Baca Juga: Rupiah Borobudur Playon 2025 Resmi Diluncurkan, Upaya Tingkatkan Perekonomian Lewat Sport Tourism
Dr. Dhoni Zustiyantoro, dosen Program Studi Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang (UNNES), menyampaikan keprihatinannya atas rencana penghentian sementara tersebut. Ia menilai, apapun alasannya, pemutusan pergelaran ini berpotensi merusak kesinambungan pelestarian budaya lokal.
“Kegiatan ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga merupakan ruang penting untuk menjaga hidupnya tradisi wayang kulit sebagai bagian dari identitas budaya Kota Semarang. Jika ini dihentikan, kita sedang menghapus memori kolektif masyarakat terhadap nilai-nilai adiluhung yang sudah mengakar,” ujar Dhoni, Minggu 15 Juni 2025.
Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak melihat pergelaran budaya sebagai beban anggaran semata, tetapi sebagai investasi jangka panjang bagi ketahanan budaya bangsa. Ia juga mendorong Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang untuk segera mencarikan solusi bijak agar pagelaran ini tidak terputus.
“Penghematan anggaran tentu penting, namun pelestarian budaya jauh lebih mendesak. Wayang kulit bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah ruang dialektika antara masa lalu dan masa kini, antara filosofi leluhur dan tantangan zaman,” tambahnya.
Dhoni menegaskan, keberlangsungan pergelaran malam Jumat Kliwon harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas sebagai bagian dari pembangunan karakter dan spiritualitas masyarakat. Ia khawatir, jika dibiarkan hilang, kota ini akan kehilangan salah satu simbol kultural yang selama tiga dekade terakhir telah menjadi pengikat sosial antar generasi.
Baca Juga: Liburan ke Purwokerto? Ini 7 Tempat Wisata Alam yang Wajib Kamu Kunjungi!
“Pemerintah kota harus menunjukkan sikap: apakah budaya masih menjadi prioritas, atau justru tergeser oleh proyek-proyek jangka pendek yang lebih bersifat politis? Kebudayaan adalah pondasi. Jika itu dibiarkan memudar, maka kita kehilangan arah,” tutup Dhoni.
Wayang kulit malam Jumat Kliwon di TBRS selama ini menjadi ruang hidup bagi para dalang, seniman karawitan, penghayat budaya, hingga penonton setia lintas usia. Kini, nasib panggung yang telah menerangi malam-malam Semarang selama lebih dari 30 tahun itu tengah berada di persimpangan.***