Doa dan Rindu yang Tak Usai: Sebuah Penghormatan Penuh Cinta untuk Mas Ton, Maestro Teater Lingkar

photo author
- Rabu, 9 Juli 2025 | 18:05 WIB
Teater Lingkar Semarang dan Balai Bahasa Jateng bekerja sama dengan DEKASE menggelar acara “Doa dan Rindu yang Tak Usai”, sebagai penghormatan untuk Mas Ton. (Dok.)
Teater Lingkar Semarang dan Balai Bahasa Jateng bekerja sama dengan DEKASE menggelar acara “Doa dan Rindu yang Tak Usai”, sebagai penghormatan untuk Mas Ton. (Dok.)

SEMARANG, AYOSEMARANG.COM — Di antara rimbunnya kenangan dan bisik-bisik rindu yang belum sempat usai, Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah bersama Dewan Kesenian Semarang (DEKASE) menggelar sebuah perhelatan jiwa bertajuk "Doa dan Rindu yang Tak Usai", Rabu pagi, 9 Juli 2025. Berlangsung di Rumah Po Han, Jalan Kepodang, Kota Lama Semarang—tempat yang menyimpan aroma masa lalu—acara ini menjadi ruang kontemplasi dan penghormatan untuk sosok yang begitu dicintai: Suhartono Padmo Soemarto, atau yang akrab kita kenal sebagai Mas Ton.

Selama lebih dari empat dekade, Mas Ton bukan hanya mementaskan lakon, tetapi juga menyulam jiwa-jiwa muda dalam semangat teater rakyat yang jujur dan membumi. Melalui Teater Lingkar, ia membentuk bukan hanya aktor, tetapi manusia. Ia membangun bukan hanya panggung, tetapi ruang untuk tumbuh dan merenung.

Acara penghormatan ini menghadirkan tiga sosok yang masing-masing menyimpan keping-keping kenangan tentang Mas Ton:
Eko Tunas (sahabat dan penulis naskah),
Nasrun M. Yunus (pegiat teater yang bersahaja),dan Sindhunata Gesit Widiharto, putra bungsu Mas Ton yang kini juga menapaki jejak ayahnya dalam dunia seni dan pedalangan.

Dalam sambutan yang tenang namun sarat makna, Andy Rahmadi, S.Kom., dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, mengingatkan kita semua bahwa kepergian Mas Ton bukanlah akhir. “Teater Lingkar adalah denyut kesenian kota ini. Kita kehilangan seorang guru—seniman yang setia pada jalan sunyinya,” ucapnya lirih.

Momen yang paling menggugah datang dari Sindhu Gesit, saat ia membagikan sepotong kisah kecil yang menjelma isyarat besar. "Saat ulang tahun Teater Lingkar yang ke-45, Bapak memberikan saya potongan pertama dari tumpeng. Kala itu saya tak berpikir apa-apa. Tapi sekarang saya tahu, itu semacam pesan sunyi… bahwa saya diminta melanjutkan langkah-langkahnya,” tuturnya, menahan haru.

Sementara itu, Bang Ayun—sapaan hangat untuk Nasrun M. Yunus—dalam refleksi berjudul "Guru Itu Bernama Mas Ton Lingkar", mengangkat pentingnya mendokumentasikan sejarah teater kampung di Semarang. “Agar kita tahu jalan yang pernah dilalui Mas Ton. Jalan itu bukan mulus, tapi dipenuhi cinta yang tak menuntut balas,” katanya penuh semangat, meski mata tampak berkaca-kaca.

Kenangan lain hadir dari Eko Tunas, dalam kisah pertemuan pertamanya yang penuh dinamika dengan Mas Ton. “Saya pernah digeruduk Mas Ton gara-gara tulisan saya di koran. Tapi dari situlah pertemanan kami tumbuh. Beliau lalu meminta saya menulis lakon untuk Teater Lingkar. Dan begitulah, jalan kami bersilangan dalam seni.”

Tak hanya teater, Mas Ton juga mencintai dunia pedalangan. Selama bertahun-tahun, ia setia menggelar pagelaran wayang kulit setiap malam Jumat Kliwon. Namun sayang, kegiatan itu harus berhenti untuk sementara. Sindhu menyampaikan hal ini dengan getir, “Pagelaran itu kini dihentikan oleh para 'penggede'...”

Acara ini juga diliputi keindahan lain dari para seniman yang mempersembahkan karya untuk Mas Ton:
Namex Irfan dengan musik eksperimentalnya,
Munawwir yang membacakan doa seperti kidung dari langit,
Ucik Fuadhiyah menyuarakan geguritan yang menyayat,
dan Salma Ibrahim yang membawakan monolog penuh emosi, mengalir seperti sungai kehilangan.

Hampir seratus orang hadir—keluarga, sahabat, seniman lintas generasi, para guru, jurnalis, dan pencinta seni. Mereka datang bukan sekadar untuk menyaksikan, tetapi untuk merasakan. Untuk menjadi saksi bahwa cinta pada Mas Ton belum usai.

"Doa dan Rindu yang Tak Usai" bukan sekadar acara mengenang. Ia adalah janji diam-diam dari semua yang hadir: bahwa semangat Mas Ton akan terus mengalir, bahwa api kecil yang ia nyalakan tak akan padam, dan bahwa cinta sejati pada kesenian tak pernah mengenal kematian.

Selamat jalan, Mas Ton.
Langit Semarang mungkin kehilangan satu bintang,
tapi cahaya yang kau tinggalkan akan terus menuntun langkah kami,
di jalan sunyi kesenian,
yang kau ajarkan:
dengan kejujuran, ketekunan, dan cinta yang tak berpamrih.**

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: arri widiarto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X