semarang-raya

Gebyuran Bustaman Semarang: Pejabat dan Masyarakat Basah Kuyup karena Perang Air

Senin, 24 Februari 2025 | 09:14 WIB
Gebyuran Bustaman Semarang membuat masyarakat dan pejabat seakan tanpa sekat. Gebyuran ini adalah tradisi jelang bulan Ramadhan. (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)

SEMARANG, AYOSEMARANG.COM -- Tradisi jelang puasa di Kota Semarang, yakni Gebyuran Bustaman, kembali digelar pada Minggu, 23 Februari 2025. Acara ini berlangsung meriah dengan kehadiran sejumlah pejabat, termasuk Kepala Dinas Budaya Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang, R Wing Wiyarso Poespojoedho, Anggota DPR RI Komisi VII Samuel Wattimena, serta beberapa pejabat lainnya.

Gebyuran Bustaman diawali dengan kirab budaya yang melibatkan para penari pembawa kendi. Mereka berjalan menuju lokasi utama di area Masjid Barokah, Bustaman, untuk memandikan tujuh anak sebagai simbol penyucian diri sebelum Ramadhan. Air yang digunakan telah didoakan secara khidmat, menandai kesakralan tradisi ini.

Usai prosesi penyucian, petasan dan genderang berbunyi sebagai penanda dimulainya perang air. Semua peserta, termasuk pejabat, masyarakat, dan wisatawan, larut dalam euforia tanpa batasan status sosial.

Baca Juga: Wali Kota Semarang Akhirnya Berangkat Retreat di Magelang, Megawati Berubah Pikiran?

Setelah perang air, peserta menikmati sajian khas Bustaman, yaitu ungkep, hidangan gule kambing berbumbu kecap. Kebersamaan dalam menikmati kuliner ini semakin mengukuhkan Gebyuran Bustaman sebagai tradisi yang mempererat hubungan masyarakat.

Anggota DPR RI Komisi VII, Samuel Wattimena, yang turut serta dalam perang air, mengapresiasi kebersamaan tanpa sekat dalam acara ini.

"Tidak ada batasan pejabat dan masyarakat, semua seru-seruan bersama. Saya mengajak masyarakat untuk bergembira bersama di Kampung Bustaman ini," ujarnya.

Sementara itu, tokoh Kampung Bustaman, Hari Bustaman, menjelaskan bahwa tradisi ini telah berlangsung sejak 1742, bermula dari kebiasaan Kiyai Bustam yang memandikan anak cucunya. Meski sempat vakum, Gebyuran Bustaman kembali diselenggarakan secara rutin sejak 13 tahun terakhir.

"Karena ini tradisi sejak kakek saya, Bustaman," jelasnya.

Baca Juga: Ayah Minta Polisi Hukum Mati Imam Ghozali, Anak yang Bunuh Ibu Kandung di Semarang

Gebyuran Bustaman juga melibatkan prosesi coret wajah sebagai simbol kesalahan dan dosa. Setelahnya, peserta saling mengguyur air sebagai tanda penyucian diri.

"Setelah coret, gebyuran, semua senang dari balita sampai lansia menjadi guyub, tidak boleh marah saat perang air," tambahnya.

Kepala Disbudpar Kota Semarang, R Wing Wiyarso Poespojoedho, menyampaikan bahwa tahun ini Gebyuran Bustaman berlangsung lebih ramai meskipun dalam suasana efisiensi anggaran.

"Ternyata masyarakat ini luar biasa, sehingga berjalan dengan baik. Kami berkomitmen menjadikan Gebyuran Bustaman sebagai salah satu event tahunan di Kota Semarang," katanya.

Halaman:

Tags

Terkini