Ketua BEM Universitas Diponegoro, Aufa Atha Ariq Aoraqi, menambahkan aksi tersebut juga menampilkan simbol kura-kura sebagai kritik terhadap lambannya kinerja pemerintah.
“RUU Perampasan Aset tidak ada kemajuan, penegakan hukum terhadap korupsi berjalan lambat. Pemerintah kami simbolkan dengan kura-kura — bergerak pelan, bahkan cenderung malas,” ungkapnya.
Aksi sempat memanas saat mahasiswa meminta pagar kantor gubernur dibuka untuk menggelar Sidang Rakyat. Permintaan tersebut ditolak petugas keamanan. Gubernur Jawa Tengah juga tidak hadir menemui mahasiswa meskipun massa telah menunggu selama beberapa jam.
Meski demikian, aksi tetap berlangsung tertib. Mahasiswa menegaskan bahwa gerakan mereka bukan aksi anarkis, melainkan gerakan intelektual untuk mengawal demokrasi.
“Kami datang bukan untuk membuat kerusuhan. Kami membawa suara rakyat yang merasa dikhianati oleh janji-janji pemerintah,” tutup Fakhrian.