Pasar ini diberi nama "Gede" karena bangunannya menyerupai benteng dengan pintu masuk yang seperti istana, beratap besar dan megah.
Sementara itu, nama "Hardjonagoro" diambil dari KRT Hardjonagoro, seorang keturunan Tionghoa yang diberi gelar oleh Keraton Surakarta.
Secara fisik, bangunan pasar ini mencerminkan keberagaman unsur budaya Jawa, Belanda, dan Tiongkok, mengingat usianya yang hampir mencapai satu abad.
Sejarah pasar ini melibatkan tiga masa pemerintahan yang berbeda, yaitu masa kerajaan, masa post kolonial, dan masa kemerdekaan.
Beberapa bangunan di pasar ini dan sekitarnya juga dianggap sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia.
Pasar Gede Hardjonagoro bukan hanya menjadi saksi bisu perkembangan ekonomi di Kota Solo, tetapi juga menjadi simbol harmoni kehidupan sosial dan budaya di Kota Bengawan.
Contohnya, di dekat Pasar Gede, terdapat pemukiman warga Tionghoa yang memiliki klenteng tertua di Solo, yaitu Klenteng Tien Kok Sie.
Setiap perayaan Imlek, kawasan sekitar Pasar Gede menjadi tempat yang menarik dan menjadi daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke Solo.
Nah, itulah salah satu pasar tua di Solo yang masih eksis hingga sekarang.(*)