"Apa manfaat berita kita untuk publik untuk menjunjung demokrasi, apa manfaat yang diberikan kepada pasar,” ujarnya.
Namun ia mengakui adanya kesenjangan antara nilai yang diciptakan dan nilai yang berhasil dimonetisasi.
“Problemnya adalah adanya kesenjangan antara jumlah yang dihasilkan model bisnis ini, dan itu cukup signifikan berdampak pada trafik atau pageview media,” kata Wahyu.
Ia menyebut pendapatan dari langganan Tempo hanya menutup 15 persen biaya produksi.
“Artinya dengan perubahan media dengan mengandalkan adsense, pageview tidak bisa untuk membiaya biaya produksi redaksi,” jelasnya.
Wahyu pun menekankan perlunya intervensi negara.
"Bisa dengan dimulai dengan pemerintah untuk memberikan keringanan pajak penghasilan untuk karyawan di perusahaan media,” sarannya.
Dari sisi regulasi, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Muhammad Jazuli, menyoroti ketimpangan aturan antara media arus utama dan media sosial.
“Media arus utama apapun platform bentuknya, itu jelas ada aturannya. Sementara social media dari segi konten maupun dari segi bisnis tidak ada yang mengatur,” ujarnya.
Ia mendorong pemerintah membuat kebijakan yang meringankan media arus utama.
“Media untuk bisa bertahan, pemerintah bisa membuat kebijakan yang memberikan keringanan kepada media arus utama,” tegas Jazuli.
Tingginya jumlah aduan ke Dewan Pers juga jadi indikator dinamika kepercayaan publik.
“Di 2025 ini ada total 867 aduan, mayoritas aduan yang dimenangkan itu pengadu,” ungkapnya.
Sementara itu, Eva Danayanti dari International Media Support (IMS) menekankan pentingnya relevansi media lokal.
“Kuncinya kalau ngomongin konten, kalau kita memperhatikan di sekitar dan di sebelah kita, itu bisa lebih relevan untuk konten media lokal bahkan hiperlokal,” katanya.