Itu pula yang dipikirkan Kuntjoro karena masih banyak pelosok-pelosok terdalam di Indonesia belum tersentuh oleh listrik meski sudah puluhan tahun merasakan kemerdekaan.
Kuntjoro mengakui bahwa ketertarikannya untuk mengambil dan melaksanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro ini bukan semata karena faktor materi saja, tetapi juga ada faktor sosial di dalamnya.
Secara tegas ia menekankan bahwa ketertarikannya untuk membangun Papua bukan karena proyek Mikrohidro, tetapi juga memperbaiki image branding masyarakat yang saat itu selalu memiliki stigma negatif bagi masyarakat Indonesia di daerah lain.
“Nilai project saya waktu itu tidak besar, membangun Mikrohidro setara dengan 120 kilowatt. Jadi produksi bisa menangani daya 120.000, kira-kira bisa (mengaliri) 1.000 rumah,” kenang alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut.
Desa ini gelap gulita pada awalnya, namun berkat proyek tersebut terciptalah sumber daya listrik yang kekuatannya mampu menghidupi lebih dari seribu rumah. Cerita pengerjaannya juga fenomenal di mana ia dibantu oleh tiga tukang saja dan ratusan ibu-ibu dari penduduk setempat.
Selain itu, Kuntjoro juga memberdayakan masyarakat dengan memberi pendidikan kepada mereka tentang bagaimana menghasilkan batu untuk pondasi. Pria yang pernah menjabat sebagai Direktur PT PAL ini mengaku tidak membawa dan membeli batu.
Kepada warga yang membantu pembangunan, ia mengajari cara mencari batu di sungai, kemudian mengolahnya untuk pembuatan bendungan. Pun begitu juga membangun rumah turbin, Kuntjoro juga mengajak orang-orang untuk membuat batu bata sendiri.
Pembangunan PLTMH ini meninggalkan kesan mendalam bagi Kuntjoro kepada masyarakat Papua. Ia menganggap bahwa mereka bukanlah orang-orang pemalas. Justru sebenarnya warga Papua kurang beruntung karena lapangan kerja yang sangat minim.
Ia melakukan pendekatan dengan hati dan percaya bahwa masyarakat Papua adalah pribadi-pribadi yang penuh semangat, yang mau diajak bekerja sama selama kita memberi mereka peluang untuk usaha.
Kuntjoro juga menekankan bahwa pendekatan dengan hati ini relevan dalam membangun di daerah-daerah pelosok. Ia sudah membuktikan lewat proyek-proyeknya di Desa Wehali dan berbagai daerah lainnya. Dengan melibatkan masyarakat sekitar, suatu pembangunan akan lebih lancar dan manfaatnya juga lebih maksimal.
“Ketuklah hati mereka, ayo ajak maju bersama. Mereka bisa, kok,” pungkas Kuntjoro.
Menjadi pilihan yang tidak mudah tentu saja dengan menanggalkan kenyamanan gelar profesor lulusan Swedia. Namun pengorbanan seorang Kuntjoro Pinardi nampaknya berbuah manis.
Meskipun cerita-cerita heroiknya jarang diangkat namun setidaknya banyak masyarakat yang merasakan manfaat dari tangannya. Semoga ceritanya menjadi inspirasi bahwa senyaman apa pun di luar sana, Indonesia adalah tempat pulang terbaik bagi anak-anak yang lahir di tanah ini.