bisnis

Pentingnya Edukasi Keuangan untuk Hindari Pinjol Ilegal dan Bantu UMKM Berkembang

Rabu, 2 Juli 2025 | 21:38 WIB
Diskusi Literasi Keuangan di Bandung, Lawan Pinjaman Ilegal dan Dukung UMKM (Dok Ayobandung )

"PNM itu tidak memberatkan. Angsurannya dua minggu sekali Rp461.000. Alhamdulillah saya kreditnya lancar. Omzet sebelum corona bisa sampai Rp1 juta per hari, tapi sekarang sekitar Rp300 ribuan, karena saya jualan kripik, basreng, pangsit, jajanan rumahan," imbuh Enti.

Upaya PNM sejatinya membalik logika ekonomi formal. Mereka menaruh kepercayaan pada kelompok yang kerap diabaikan yakni perempuan prasejahtera. Ketika kepercayaan diberikan dalam bentuk yang benar melalui pendampingan yang konsisten, yang dampaknya bisa jauh melampaui sekadar pelunasan cicilan.

Namun, di sisi lain ekosistem keuangan nasional masih menyisakan tantangan. Tidak semua masyarakat memiliki akses pada layanan formal yang aman dan dapat dipercaya. Di ruang inilah fenomena pinjaman online ilegal tumbuh subur, mengisi kekosongan yang seharusnya diisi oleh solusi berbasis literasi dan perlindungan.

Ekonom dari Universitas Bina Nusantara (Binus), Dian Kurnianingrum, mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024, terdapat 15.162 aduan terkait pinjol ilegal dari total 16.231 laporan yang diterima oleh Satgas PASTI. Menurutnya, kelompok usia 26–35 tahun menjadi pelapor terbanyak, disusul oleh kelompok usia 17–25 tahun.

“Data ini menunjukkan setengahnya merupakan generasi muda, seperti milenial dan generasi Z, yang seharusnya menggantikan generasi terdahulu untuk membangun Indonesia, menggerakkan roda perekonomian, justru malah terjerat pinjaman ilegal,” terang Dian.

Ia menjelaskan bahwa kerentanan ini lahir dari kondisi ekonomi yang mendesak, budaya konsumtif, dan minimnya pemahaman tentang bunga serta risiko keuangan. “Kita tidak bisa tutup mata. Banyak masyarakat berada di tingkat ekonomi menengah ke bawah, dengan kebutuhan mendesak tapi pendapatan terbatas,” ujarnya.

Sebagai solusi, Dian menyarankan Indonesia belajar dari negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan Inggris,yang telah menerapkan sistem pinjaman resmi berbunga rendah, daftar pemberi pinjaman legal, sistem pelaporan cepat, hingga akses ke nasihat keuangan gratis.

“Mungkin problemnya ada di sosialisasi yang masih kalah gencar dibandingkan kampanye pinjol ilegal. Siapa tahu, sebenarnya banyak yang ingin pinjam dari platform legal, tapi malah tersesat karena kurang informasi,” tutupnya.

Halaman:

Tags

Terkini