Komunikasi Empati, Sebuah Oase di Gurun Kebisingan Media

photo author
- Jumat, 5 September 2025 | 15:33 WIB
Agus Triyono, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komputer Universitas Dian  Nuswantoro. (dok.)
Agus Triyono, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komputer Universitas Dian Nuswantoro. (dok.)

 

 

AYOSEMARANG.COM -Akhir-akhir ranah komunikasi publik di Indonesia terjebak dalam kebisingan media multi-platform seperti WhatsApp, Instagram, Twitter/X, berita online,siaran televisi dan platform lainnya. Di satu sisi, ini menunjukkan betapa dinamisnya ruang publik digital. Namun demikian sisi yang lain menjadi ruang aspirasi rakyat kerap tak terdengar karena “ditelan” oleh linearitas narasi birokratis. Dalam pandangan McLuhan (1964) kondisi ini disebutnya sebagai “The medium is the message”. Hal tersebut mengandung pemahaman bahwa medium tak sensitif terhadap emosi publik.
Media massa, baik media arus utama dan media sosial mewarnai beberapa peristiwa yang mengguncang negeri ini. Beberapa demonstrasi terjadi diberbagai daerah dan menuntut sebuah perubahan atas kebijakan “penguasa”. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah misalnya demonstrasi dilakukan begitu besar. Pemicunya adalah atas rencana kenaikan PBB hingga 250% oleh bupati dan menimbulkan kemarahan besar masyarakat. Meskipun akhirnya dibatalkan, setelah aksi massa mengurung kantor bupati dan dprd. Disusul kemudian, aksi-aksi lainnya yang tidak kalah hebohnya yakni rencana kenaikan tunjangan anggota DPR. Termasuk di dalamnya adalah tunjangan perumahan hingga Rp 50 juta/bulan di tengah tekanan ekonomi rakyat yang semakin berat.

Tuntutan rakyat merembet ke isu-isu lainnya dan sensitif, sehingga menimbulkan sikap apriori dan emosi yang berlebihan. PHK massal hingga respons represif aparat menjadi bagian isu yang diangkat publik. Alhasil, demonstrasi besar-besaran pecah dan terjadi dimana-mana. Dan, aksi berlangsung diberbagai wilayah seperti di Indonesia. Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Yogyakarta Medan, dan daerah-daerah lainnya.
Aksi yang diikuti ribuan mahasiswa, buruh, ojek online turun ke ruas depan DPR dan DPRD. Mereka menolak keistimewaan parlemen dan menuntut transparansi anggaran. Aksi merembet diberbagai wilayah dengan aksi oknum yang mengarah pada tindakan emosional seperti dengan membakar gedung, infra struktur dan fasilitas publik. Bentrok dengan aparatpun tidak bisa dihindari. Dan yang membuat miris adalah banyak korban berjatuhan, mulai dari mahasiswa, aparat hingga masyarakat sipil.
Tragedi paling mencuri perhatian terjadi di Jakarta saat seorang driver ojek daring, Affan Kurniawan, “dilindas” kendaraan taktis Brimob saat berada di lokasi demonstrasi. Peristiwa ini menyulut gelombang kemarahan baru, yang membuat banyak masyarakat merasa geram. Seperti banyak diinformasikan di beberapa media, korban total selama aksi akhir Agustus tercatat hingga 11 orang tewas (termasuk Affan), ratusan luka-luka, dan ribuan ditangkap.

Dalam kesempatan tersebut, kemudian presiden Prabowo Subianto akhirnya berinisiasi mencabut kenaikan tunjangan DPR, melarang perjalanan luar negeri bagi anggota parlemen, serta memerintahkan tindakan tegas aparat terhadap pelaku kerusuhan. Meski demikian, sebagian tokoh mahasiswa menilai kebijakan itu hanya “perbaikan kosmetik”, tidak menyentuh akar oligarki politik dan ketimpangan ekonomi.
Kalau kita cermati, fenomena ini bukanlah sekadar kegaduhan. Tetapi justru mencerminkan adanya krisis komunikasi empatik. Albert Mehrabian (1971) menyebut hanya 7% makna komunikasi berasal dari kata; sisanya datang dari intonasi (38 %) dan bahasa tubuh (55 %). Sementara, John Suler (2004) menyoroti bagaimana online disinhibition effect membuat ujaran kasar dan minim empati semakin mudah terucap secara digital dan dengan cepat memperparah ketegangan sosial.


Literasi Empati: Jalan Meredam Konflik Sosial
Dalam kondisi seperti ini, komunikasi empati bukan sekadar sopan santun. Tetapi menjadi bentuk literasi politik dan sosial yang esensial di ruang digital dan publik. Carl Rogers (1957), lewat teori empathic listening, menegaskan bahwa mendengar dengan niat memahami bukan sekadar menjawab adalah fondasi hubungan konstruktif.
Howard Gardner (1983) dalam Multiple Intelligences menyertakan kecerdasan interpersonal sebagai modal utama. Tanpa kecerdasan ini, dialog politik terjebak di ranah kognitif formalitas belaka seperti angka, regulasi, dan simbolisme. Bahkan, empati dan kolaborasi sebagai soft-skills kunci pada masa-masa kini. Terlebih di era media multi-platform saat ini, komentar instan dan framing cepat bisa memicu amarah kolektif dalam hitungan cepat.
Berbagai peristiwa di negeri ini harus segera ada solusi untuk perubahan yang lebih baik. Namun tanpa bahasa empatik yang menyeluruh, permintaan maaf secara tulus, mengakui kesalahan institusional, dan membuka dialog publik terbuka, menjadi salah satu solusi. Empati tidak melemahkan legitimasi, justru memperkuatnya melalui pengakuan bahwa rakyat bukan objek statistik, melainkan subjek narasi bangsa.
Dalam kasus demonstrasi di Kabupaten Pati misalnya, justru komunikasi lokal yang merangkul diskusi terbuka dengan warga, transparansi kebijakan, akan bisa menenangkan situasi lebih baik. Dan dialogpun bisa jadi tidak hanya cukup sekali dua kali.
Disisi lain, dalam kesempatan ini organisasi masyarakat sipil telah mendeclare dan merumuskan “17+8 Tuntutan Rakyat”. 17 tuntutan jangka pendek seperti pembekuan tunjangan DPR, transparansi anggaran, pembentukan tim investigasi independen kasus kekerasan aparat, penarikan TNI dari pengamanan sipil, penghentian kriminalisasi demonstran, hingga kebijakan ketenagakerjaan. Sementara, 8 tuntutan jangka panjang tentang reformasi kelembagaan DPR, sistem perpajakan yang adil, penguatan Komnas HAM, serta review peran TNI sipil dan UU Perampasan Aset.
Pelaksanaan tuntutan ini memerlukan tidak hanya kebijakan, tetapi juga lingkungan komunikasi yang empatik, dialog terbuka, transparansi, pengungkapan motivasi, serta refleksi moral. Tanpa hal itu tentu harapan hanya sebuah pepesan kosong.
Jika demonstrasi adalah kanal sah aspirasi publik, maka komunikasi empati menjadi jembatan antara rakyat dan lembaga negara. Ini memungkinkan intimidasi digantikan kepercayaan, kekerasan berubah jadi dialog. Ketika aparat memahami kesakitan massa, maka prioritasnya menjadi perlindungan, bukan penindasan.
Empati juga harus diajarkan dalam literasi digital. Ruang maya tidak boleh hanya dimaknai sebagai panggung kebisingan. Sebaliknya, kita butuh budaya digital yang sadar etika, respek, dan kesediaan menyimak.
Pejabat juga harus dilatih menyampaikan kebijakan tidak hanya dengan data, tetapi juga dengan bahasa yang mencerminkan tanggung jawab terhadap penderitaan masyarakat.
Pada akhirnya, kita dihadapkan pada dua pilihan yakni terus hidup dalam gurun komunikatif yang kering, penuh api kebencian digital, atau menanam oasis empati yang menyejukkan relasi antar ruang kita sebagai warga masyarakat, sebagai pemimpin, dan juga sebagai sebuah negara.

Tragedi dan peristiwa yang sudah terjadi beberapa waktu lalu, menyisakan kepedihan mendalam. Banyak korban, fasilitas publik rusak, hingga korban lainnya tidak sekadar jatuh begitu saja. Tetapi lebih dari itu, jatuh oleh kegagalan kita mendengar dengan hati.
Kata-kata bisa menjadi peluru, pidato bisa menjadi api. Namun kata-kata yang disampaikan dengan empati, bisa menjadi air penyejuk yang meredam peluru dan memadamkan api. Saatnya kita membuat sebuah perubahan positif. Pejabat, aparat, dan publik bersama memupuk kemampuan itu, karena komunikasi bukan sekadar transfer informasi, tetapi juga transfer rasa. Dan rasa terpenting yang hilang pada masa kini adalah empati. Masih punyakah kita rasa empati?***

Penulis : Agus Triyono
Dosen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Dian Nuswantoro.

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: arri widiarto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

[Kartun] Wisata Banjir

Jumat, 5 Maret 2021 | 16:49 WIB

[Kartun] Asyik Bermain di Saat Banjir

Kamis, 4 Maret 2021 | 15:27 WIB

[Kartun] Semarang 'Dalane' Banjir

Rabu, 3 Maret 2021 | 15:21 WIB

[Kartun] Jamu Tolak Angin Puting Beliung

Senin, 1 Maret 2021 | 15:14 WIB

[Kartun] Ketika Jakarta Banjir

Minggu, 28 Februari 2021 | 07:26 WIB

[Kartun] Stadion Sepak Bola Pun Ikut Kebanjiran

Minggu, 28 Februari 2021 | 07:19 WIB

[Kartun] Batal Cerai Karena Banjir

Sabtu, 27 Februari 2021 | 18:27 WIB

[Kartun] Proyek Penghijauan Hutan Gundul

Rabu, 24 Februari 2021 | 19:05 WIB

[Kartun] Menyeberang saat Banjir

Senin, 22 Februari 2021 | 21:28 WIB

[Kartun] Pirsawan Daerah Bencana

Senin, 22 Februari 2021 | 21:23 WIB

[Kartun] Problem Sampah dan Bencana Alam

Jumat, 19 Februari 2021 | 21:50 WIB

[Kartun] Bencana Alam karena Ulah Manusia

Rabu, 17 Februari 2021 | 20:23 WIB

[Kartun] Indonesia Dilanda Banjir Covid-19

Rabu, 17 Februari 2021 | 20:08 WIB

[Kartun] Banjir dan Keserakahan Manusia

Selasa, 16 Februari 2021 | 21:24 WIB

[Kartun] Bencana Alam Akibat Ulah Manusia

Minggu, 14 Februari 2021 | 07:35 WIB
X