AYOSEMARANG.COM -- Kondisi politik dan ekomomi global saat ini sedang tidak stabil, harga-harga komoditas tidak menentu, tetapi ada satu komoditas yang jadi primadona yaitu emas.
Harus kita sadari jika emas merupakan instrumen yang bisa digunakan sebagai investasi, tabungan, ataupun pelindung aset karena nilainya yang sangat stabil.
Melihat fenomena ini, pemerintah juga tidak diam, dalam kerangka kebijakan dengan pegangan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) pemerintah mengatur yang namanya usaha emas bullion.
Emas bullion merupakan kegiatan usaha yang berkaitan dengan emas dalam bentuk simpanan, pembiayaan, perdagangan, penitipan emas, dan/ atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan.
Lembaga jasa keuangan yang dimaksud dalam konteks sekarang seperti Bank Syariah Indonesia (BSI) ataupun Pegadaian. Kebijakan ini diharapkan akan menciptakan ekosistem emas yang besar, efektif dan efisien.
Ada kepastian hukum terutama aspek perlindungan konsumen dan transparansi kepemilikan emas. Selain itu sebenarnya kita mempunyai modal sosial yang kuat, bahwa negara Indonesia sebagai salah satu negara penghasil dan pemilik cadangan emas terbesar di dunia.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewajiban moral untuk mensukseskan emas bullion ini, peran DJP tentunya dalam bentuk regulasi perpajakan. Merespon hal tersebut DJP menerbitkan dua ketentuan sekaligus, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51 dan 52 tahun 2025. Dengan PMK ini harapannya aspek perpajakan terkait emas bullion ini menjadi gamblang dan jelas.
Bukan hanya jelas buat lembaga jasa keuangan, tetapi juga pihak-pihak lainnya yang bertransaksi seperti penjual emas biasa, pabrik emas, termasuk konsumen akhir (pembeli akhir). Pengaturan dalam PMK 51 ataupun PMK 52 sebenarnya cukup sederhana.
Dalam PMK 51 dijelaskan jika Lembaga jasa keuangan (LJK) ditunjuk sebagai pemungut pajak penghasilan (PPh) pasal 22 atas transaksi emas bullion, dengan syarat LJK tersebut sudah memporoleh izin dari otoritas jasa keuangan (OJK).
Jenis transaksi yang dipungut juga spesifik yaitu hanya transaksi atas pembelian emas Batangan saja, ketika ada pembelian selain pembelian emas Batangan maka LJK atau biasa disebut bank bullion tidak memungut pajak.
Yang menarik adalah ada batasan nilai yang dipungut yaitu minimal Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), pengaturan ini prinsipnya juga mirroring dari pemungutan yang dilaksanakan oleh pihak BUMN pada umumnya, karena pada prinsipnya bank bullion ini adalah BUMN, sampai saat ini yang jadi bank bullion adalah Bank Syariah Indonesia (BSI) dan PT Pegadaian.
Tarif pemungutan juga layak diperhatikan, bank bullion wajib memungut PPh psal 22 sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen), tarif ini jika kita cermati sama dengan pengaturan perdagangan emas dalam PMK 48 tahun 2023, ketika pedagang emas ataupun pabrikan menjual emas batangan maka secara normal mereka wajib memungut PPh pasal 22 sebesar 0,25 persen.
Ada irisan menarik ketika konsep tadi digabungkan, bank bullion wajib memungut pph pasal 22 atas pembeliannya, pedagang emas termasuk pabrikan juga harus memungut PPh pasal 22 dengan tarif yang sama.
Supaya tidak tumpeng tindih dan saling pungut diaturlah dalam PMK 52 tahun 2025, ada tambahan pengecualian pemungutan oleh pedagang emas ataupun pabrikan emas yaitu ketika mereka menjual emas batangan kepada bank bullion.