AYOSEMARANG.COM- Dalam beberapa pekan belakangan, publik dikejutkan oleh gaya hidup hedon dari oknum keluarga Aparatur Sipil Negara (ASN). Netizen Indonesia ramai-ramai memberikan kritik kepada gaya hidup tersebut.
Mulai dari kasus pencetus dari pejabat perpajakan Rafael Alun Trisambodo, juga pejabat dari bea cukai, sampai pada viralnya anak Sekda salah satu provinsi yang merayakan ulang tahun di hotel berbintang, kemudian bermunculan kritik terhadap ‘gaya pamer’ tas mewah istri-istri pejabat, semuanya menciptakan sikap skeptis dan anti-trust masyarakat terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sebagaimana pengertian etimologisnya, hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari harta sebanyak mungkin dan menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan.
Setidaknya ada tiga aliran pemikiran dalam hedonisme yaitu Cyrenaics, Epikureanisme, dan Utilitarianisme, yang menegaskan bahwa hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia (Magnis-Suseno, 1987:114).
Hedonisme: Salahkah?
Pertanyaan mendasarnya ialah, apakah gaya hidup hedon tersebut salah? Tentu saja dalam kaca mata hukum positif, tidak ada aturan pemidanaan terhadap pola hidup semacam itu. Akan tetapi publik menyadari bahwa ruang lingkup pelanggaran dapat bersifat sebagaimana yang tertulis (lex scripta) pun pula yang tidak tertulis (unwritten); ada yang disebut mala in prohibita, dan ada yang dikenal sebagai mala per se.
Dalam pengertian populer dikenal sebagai pelanggaran hukum dan pelanggaran moral. Wilayah moral itu berujung pada pelanggaran kode etik. Itulah sebabnya dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, disebutkan kode etik dan/atau kode perilaku ASN. Di dalamnya diperintahkan agar pegawai ASN melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi, melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin, melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan, melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau pejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan, menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara, menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien, menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya, memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan, tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain, memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN, dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin Pegawai ASN. Hal ini ditegaskan lagi dalam PP Nomor 42 Tahun 2004 dan PP Nomor 94 Tahun 2021.
Tidak cukup sampai di situ, karena setiap kementrian pun mengatur kode etiknya masing-masing; misalnya Kementrian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.01/2018 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Keuangan, yang menekankan Nilai Integritas (16 butir), Nilai Profesionalisme (16 butir), Nilai Sinergi (10 butir), Nilai Pelayanan (6 butir), dan Nilai Kesempurnaan (6 butir). Dalam Nilai Integritas bahkan tertulis secara jelas bahwa PNS di Lingkungan Kementrian Keuangan tidak menunjukkan gaya hidup hedonisme sebagai bentuk empati kepada masyarakat terutama kepada sesama Pegawai.
Sampai di sini menjadi jelas bahwa gaya hidup hedon tersebut memang salah dalam kategori etis, apalagi jika dikaitkan dengan posisi PNS/ASN sebagai pelayan publik/masyarakat.
Idealisme Perampasan Aset
Idealnya, pengawasan terhadap gaya hidup hedon ASN, dilakukan secara internal lebih dulu, mulai dari lingkungan ASN yang bersangkutan. Pengawasan ini tentu saja harus bersifat independen.
Mengapa demikian? Pertama, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) seringkali tidak diikuti kejujuran. Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN Isnaini pernah menyampaikan bahwa banyak pejabat dan penyelenggara negara yang tidak jujur saat menyetor Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Meskipun angka pelaporan LHKPN meningkat namun nyatanya banyak yang tidak jujur melaporkan hartanya lantaran salah satu ketakutan yang muncul adalah pejabat takut jumlah hartanya tak sesuai dengan profil pendapatannya. Kedua, LHKPN sudah menjadi ladang kerja sama untuk memanipulasi kekayaan pejabat ASN. Inilah bibit korupsi sistemik.
Dengan pemikiran ini, tidak mungkin Rafael Alun Trisambodo bekerja sendirian. Ada jaringan yang sudah menggurita, sehingga jika harus direformasi pun, maka harus mengubah sistem sekaligus personil/pegawai-pegawainya.
Ketiga, dan ini yang paling utama, perlu segera disahkan UU Perampasan Aset Tindak Pidana. Kekayaan pejabat ASN yang tidak sesuai dengan pendapatannya, perlu diawasi secara sungguh-sungguh melalui penegakan hukum di hulu dan di hilir. Jika di hulu dilakukan pencegahannya, maka di hilir dilakukan tindakan represifnya jika kekayaannya merupakan bagian dan/atau sarana melakukan kejahatan. Di sinilah diperlukan UU Perampasan Aset Tindak Pidana. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2012, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini sudah mulai dibahas saat era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Catatan dari PPATK menyebutkan bahw kejahatan ekonomi merupakan kejahatan canggih/sophisticated yang berkamuflase dalam financial engineering dan legal engineering.
Semua rekayasa ini harus dilawan secara represif agar pelaku kejahatan (in casu oknum pejabat ASN), tidak dapat lagi menikmati harta kekayaannya setelah masa pemidanaannya selesai. Sederhananya, jika sebagai misal Rafael Alun Trisambodo terbukti melakukan pencucian uang dan/atau korupsi, maka setelah masa tahanan selesai dijalankan, ia tidak dapat lagi menikmati hartanya yang notabene sudah dirampas.
Kerja Keras
Mimpi untuk menyaksikan gaya hidup sederhana para pelayan publik merupakan harapan masyarakat biasa. Hal ini sangat wajar mengingat masyarakat telah memberikan banyak hal melalui pembayaran pajak dan retribusi kepada negara.
Sejatinya, tanggung jawab untuk hidup sederhana memang sangat berat, karena bagaimanapun juga naluri dasar manusia ialah memamerkan hasil pekerjaan (berupa kekayaan) ke ruang publik untuk mendapatkan eksistensi dan pengakuan. Yang perlu diatur ialah pembatasan atas naluri tersebut. Oleh karena itu, secara moral tanggung jawab pengawasan berada pada tangan masyarakat, dan secara hukum diletakkan pada aparat penegak hukum. Sekarang tinggal diperiksa, yang lebih cepat mengawasi justru masyarakat, kan? Sekali lagi, memang sangat dibutuhkan kerja keras dari para pimpinan yang jujur dan amanah. ***