netizen

Klitih dan Utopia Penegakan Hukum Pelaku Anak

Kamis, 7 April 2022 | 11:19 WIB
Dr Antoni M, Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, Staff Ahli DPD RI. (dok Pribadi)


AYOSEMARANG.COM - Awal April 2022, Yogyakarta dihantui (lagi) oleh klitih. Kejahatan yang baru saja memakan korban DAA (17), pelajar SMA 2 Muhammadiyah Yogyakarta ini, membuat Sri Sultan Hamengku Buwono X angkat bicara. Sultan dengan tegas meminta supaya hal ini harus diproses secara hukum, meskipun pelakunya masih anak-anak atau remaja.

Apabila ditelusuri, jauh sebelum itu, Polda DIY menyebutkan bahwa sejak 2019 sampai 2020, terdapat 40 kasus klitih, di mana 70% pelakunya ialah pelajar. Sementara itu, sepanjang 2021, terdapat 58 kasus dengan 102 pelaku, 80 orang di antaranya berstatus pelajar. Peningkatan ini seharusnya menciptakan kewaspadaan, jangan sampai keistimewaan Yogyakarta merupakan ilusi-sarkasme dari darurat klitih.

Profiling Pelaku
Jika ditelusuri lebih jauh, Polda DIY telah melakukan profiling pelaku klitih [pengidentifikasian karakter pelaku dari dari berbagai aspek dengan premis dasar bahwa perbuatan pelaku mencerminkan kepribadiannya (McCrary, 1999)].

Dari pendekatan behavioral criminology ini, ditemukan berbagai motif dan karakter pelaku. Penelitian Laili Hanik di Polda DIY (2019) menemukan bahwa dari aspek biologis, para pelaku klitih berjenis kelamin laki-laki, memiliki tattoo di tubuh, memiliki tindik di telinga, memiliki rambut yang dicat dan berusia 16-22 tahun. Karakter biologis ini hanya gambaran umum, mengingat teori fisiognomy Lombrosso tentang hubungan antara kejahatan dengan bentuk fisik/wajah manusia, sudah mulai ditinggalkan.

Baca Juga: Apa Motif Marshel Widianto Borong Foto dan Video Syur Dea OnlyFans?

Di sisi lain, aspek psikologi dan sosiologis pun mempengaruhi pelaku, misalnya latar belakang orang tua, keluarga bermasalah, hubungan dengan kelompok, hubungan dengan lingkungan, dan karakter individu (Ahmad Fuadi dkk., 2019); juga ada kecenderungan untuk sekadar mengaktualisasikan dirinya agar diakui.

Di sini terdapat asosiasi diferensial di mana klitih dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi terkait teknik melakukan klitih beserta rasionalisasinya, yang menurut Ronald L. Akers dan Chistine S. Seller (2004), menyimpan pola yang berbeda dari norma dan nilai-nilai (masyarakat) yang diekspos oleh individu. Itulah sebabnya Polda DIY mengakui bahwa ada regenerasi (reproduksi) perbuatan klitih. Celakanya, regenerasi itu berwujud pada pelaku yang masih anak-anak.

Penegakan Hukum
Bila profiling pelaku klitih sudah bisa dilakukan, maka seharusnya penegakan hukumnya dapat dengan mudah dilakukan. Lawrence M. Friedman (1975) menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) sub sistem hukum yang berpengaruh terhadap sistem hukum yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture).

Bila dikaitkan dengan klitih, secara subtansial, hukum pidana materil kita sudah menyediakannya dalam Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Bila pelakunya masih anak-anak, digunakan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasal 71 UU SPPA membagi pidana terhadap anak berupa pidana pokok (peringatan, pidana dengan syarat, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, penjara) dan pidana tambahan (perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau pemenuhan kewajiban adat dengan tetap menghormati harkat dan martabat anak serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental anak).

Jika pelaku berumur 12 tahun (belum 18 tahun), kepadanya dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa [Pasal 81 ayat (2) UU SPPA]. Jika pelakunya belum mencapai 12 tahun akan diserahkan kepada orang tua/wali, atau diikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi terkait maksimal 6 bulan.

Kerangka hukum positif di atas memang berorientasi pada keadilan restoratif, yang menyelesaikan perkara pidana melalui pelibatan pelaku, korban, dan keluarga mereka, untuk mencapai pemulihan pada keadaan semula. Apakah hal ini efektif? Diversi sering tidak tercapai karena pelaku seringkali mengulangi perbuatan klitih. Profiling yang dilakukan Polda DIY membuktikan bahwa usia anak-anak (pra 18 tahun) sangat terlibat aktif dalam kejahatan klitih.

Baca Juga: Ngabuburit Asik Sambil Main 7 Game RPG Android Terbaik Ini

Ini berarti, pola pemidanaan terhadap pelaku anak, masih kalah oleh reproduksi perbuatan klitih. Sebagai catatan, diversi dilakukan jika perbuatan anak diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Sustainable Diversion
Bagaimana memutus lingkaran reproduksi klitih yang dilakukan anak? Pada prinsipnya, masyarakat harus selalu disadarkan bahwa anak-anak maupun dewasa, dapat melakukan tindak pidana. Di Australia ada konsep doli incapax, yang merujuk pada pandangan bahwa anak tidak mampu melakukan kejahatan karena belum cukup mengetahui benar dan salah.

Namun konsep ini kemudian dibuktikan oleh Penuntut Umum bahwa tindakan tersebut merupakan kesalahan dari ukuran prinsip moral umum. Prinsip moral umum inilah yang harus diulang terus-menerus kepada anak. Dengan kata lain, diversi tidak berhenti pada pemaafan dan pengembalian ke kondisi semula, namun lebih dari itu ialah mempertahankan prinsip-prinsip moral umum yang telah dilanggar tersebut dalam diri anak. Inilah sustainable diversion, sebuah diversi berkelanjutan!

Halaman:

Tags

Terkini

Perlukah Outsourcing Dihapus?

Kamis, 8 Mei 2025 | 11:28 WIB