KAMUS SEMARANGAN: Tek'e, Pecah Ndase dan Koyane Gedhi, Tak Semuanya Ungkapan Semarangan Kasar

photo author
- Jumat, 23 Juli 2021 | 13:23 WIB
Tugumuda, salah satu ikon Kota Semarang. Bahasa Semarangan memiliki ciri khas tersendiri dibanding dengan daerah lainnya. (Ayosemarang.com/Arri Widiarto)
Tugumuda, salah satu ikon Kota Semarang. Bahasa Semarangan memiliki ciri khas tersendiri dibanding dengan daerah lainnya. (Ayosemarang.com/Arri Widiarto)

SEMARANGSELATAN, AYOSEMARANG.COM -- “Tek’e wong kui iso ayu banget ik.” Kata “tek’e” tadi tentu sangat akrab terdengar apabila sedang berbicara dengan orang Semarang. Kata itu berasal dari kata “uteke” (otaknya) yang di mana dalam kehidupan sehari-hari lebih akrab sebagai umpatan populer.

Bahasa Semarangan memang punya umpatan atau ungkapan populer. Hartono Samidjan penulis buku Halah Pokokmen Kupas Tuntas Dialek Semarangan mencatat jika dialek semarangan punya berbagai jenis frasa populer.

Misalnya saja seperti pecah ndase (pusing, kehabisan akal), cekelan sirah (berpikir keras), lambe tipis (ceriwis/ banyak bicara), koyane gedhi (kebohongan besar), lambene suwek (umpatan kasar), lalu juga seperti matane ijo (mata duitan).

Beberapa ungkapan tadi mungkin kesannya cukup kasar, namun tidak semuanya demikian. Bahkan sudah lazim digunakan.

Hartono kemudian menjelaskan misalnya untuk pecah ndase. Dalam bahasa semarangan maknanya konotatif dan tidak dianggap sebagai kata kasar.

“Frasa itu tidak merujuk pada kondisi kepala yang pecah, tetapi pada kondisi pikiran,” kata Hartono.

Contoh penggunaan frasa pecah ndhase adalah pada kalimat berikut ini; “Olehe mikir banjir ngasi pecah ndhase, solusi sing cespleng tetep durung kecekel”. (Sudah berpikir keras untuk mengatasi banjir, namun belum menemukan solusi yang tepat).

Selain itu dalam dialek semarangan, masyarakat punya kebiasaan menyebut salah satu organ tubuh. Penyebutan itu tentu saja sebagai pelengkap pengucapan dan punya satu keterkaitan antara kata, frasa, istilah dan ungkapan. Hartono menyebut istilah khas ini dengan “ujung kepala hingga ujung kaki”.

“Tentu saja langkah ini tidak sama dengan mengenali bahasa tubuh. Sebab tubuh manusia di sini hanya sebagai objek untuk membentuk dan merangkai kata,” tulis Hartono.

Lalu Hartono juga menjelaskan frasa ungkapan seperti koyane gedhi yang artinya kebohongan besar. Ungkapan itu diucapkan misalnya ada seseorang atau juru kampanye berorasi dengan mengumbar-umbar janji, lalu dia menyeletuk, “Wah bapake koyane gedhi”.

“Itu bisa diartikan sang juru bicara dianggap menyampaikan kebohongan besar atau terlalu mengada-ada,” jelas Hartono.

Kamus Semarangan Minggu Ini:

N

Ndak Iya: Apa iya
Ndha: Kawan, sapaan khas Semarang
Ndobol: Berbohong
Ndrawasi: Mengkhawatirkan

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Budi Cahyono

Tags

Rekomendasi

Terkini

X