AYOSEMARANG -- Pemilihan Umum (Pemilu), baik itu Pilpres, Pileg, maupun Pilkada pada tahun 2024 nanti, hendaknya dimaknai sebagai sarana memperkuat integrasi kebangsaan. Bukan sebaliknya, Pemilu meninggalkan sisa perpecahan. Atau bahkan, dalam tahapan mulai persiapan, penyelenggaraan, dan pasca-Pemilu justru menimbulkan pembelahan di dalam masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Dekan Fakultas Hukum Unissula Dr H Jawade Hafidz SH MH saat menjadi pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) ''Sosialisasi Pembekalan Pemantauan dan Peliputan Pemilu 2024'' di kantor PWI Jateng, Semarang, Jumat 1 Desember 2023.
Selain Jawade, FGD yang digelar PWI Jateng dan KPU Jateng itu juga menghadirkan dosen FISIP Undip Teuku Afrizal PhD. Diskusi dimoderatori anggota PWI Jateng M Chamim Rifai SIP MA.
''Di tengah masyarakat yang terpolarisasi dan menurunnya trust publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan, momentum lima tahunan ini justru harus dipahami sebagai momentum untuk kembali memperkuat integrasi kebangsaan,'' kata Jawade.
Dia mengatakan, ada sejumlah persoalan mendasar yang perlu diwaspadai dalam Pemilu 2024 nanti. Salah satunya soal Daftar Pemilih Tetap (DPT). Beberapa waktu lalu ada sekitar 40 juta orang atau 25-30 persen data pemilih yang telah diretas oleh hacker. Hal itu diartikan, siapa yang bisa menguasai 40 juta orang itu, maka dialah yang akan menjadi pemenang.
''Salah satu kelemahan Pemilu adalah vote menggunakan online, proses penghitungan lewat IT. Jadi siapa yang menguasai IT, dialah yang paling berpeluang. Maka dari itu, perlunya peran masyarakat dalam pemungutan suara, penghitungan dan penetapan suara. Alasannya ini yang sangat rentan dimanfaatkan oleh aktor-aktor yang mengusai IT. Fenomena sebelumnya sudah ada, banyak kontestan Pemilu kehilangan suara,'' katanya.
Diakuinya, memang ada Bawaslu. Namun menurut dia, yang paling efektif adalah keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media.
''Wartawan atau jurnalis itu sudah terdoktrin bagaimana menyajikan berita yang imbang. Media akan melakukan klarifikasi dengan banyak pihak yang terlibat dalam Pemilu. Inilah potensi media. Kalau pengawasan itu lemah, maka kelemahan itu bisa jadi ada pada media,'' terangnya.
Selain media, LSM juga punya peran penting, karena kinerjanya itu hitam putih. Artinya, dia punya otoritas untuk melakukan investigasi sesuai kapasitasnya. Mereka bekerja tidak by design atau pun by order.
''Jadi, apakah ada kesadaran kita untuk melakukan 'pressure' atau tekanan-tekanan untuk melakukan fungsi pengawasan. Itu yang membuat penyelenggara Pemilu akan berhati-hati dalam melakukan tugasnya. Pengawasan bukan berarti mendukung salah satu paslon, tapi keberpihakan pada persoalan, transparansi, keadilan, kebenaran, dan keadilan,'' katanya.
Jawade juga menilai, kualitas Pemilu bukan ditentukan seberapa banyak pelanggaran yang berhasil ditangani Bawaslu, tapi pada seberapa intens partisipasi masyarakat terhadap pengawasan untuk sebuah pemilu bukan saja berprinsip Luber, tapi juga Jurdil.
Dikatakannya, sudah saatnya dibangun paradigma baru tentang politik uang. Dijelaskan dia, ruang lingkup money politics, hendaknya tidak saja berupa uang tapi juga barang.
''Media harus bisa menyuarakan, misalnya adanya temuan seorang kontestan yang memberikan barang mahal, tapi posisinya masih sebagai penyelengara pemerintahan. Ini bentuk pelanggaran, karena menggunakan uang rakyat dan mengusik rasa keadilan,'' ujarnya.
Tingkat Partisipasi