Ketika Jaranan Menyentuh Hati: Di Tengah Riuh Wahana, Budaya Menari di Saloka Theme Park

photo author
- Minggu, 22 Juni 2025 | 07:06 WIB
Festival Jaranan dan Tari Prajuritan Di pelataran Jejogedan Saloka Theme Park Tuntang, Kabupaten Semarang. (Arri Widiarto.)
Festival Jaranan dan Tari Prajuritan Di pelataran Jejogedan Saloka Theme Park Tuntang, Kabupaten Semarang. (Arri Widiarto.)

TUNTANG, AYOSEMARANG.COM – Di tengah gegap gempita wahana modern dan tawa anak-anak yang mengantri roller coaster, ada suara gamelan yang mengalun lirih. Irama kendang dan lonceng penari jaranan menyusup di antara keriuhan, seolah mengajak setiap pengunjung untuk sejenak berhenti—dan mengenang akar-akar tradisi yang mulai pudar.

Sabtu 24 Juni 2025, langit cerah sejak pagi di Saloka Theme Park menjadi saksi, bagaimana seni dan budaya yang lahir dari tanah leluhur kembali menemukan panggungnya. Festival Jaranan dan Tari Prajuritan bukan sekadar pertunjukan, tapi perayaan jiwa. Perayaan atas identitas. Perayaan atas apa yang tidak boleh dilupakan.

Di pelataran Jejogedan, sepuluh sanggar seni dari berbagai penjuru Jawa Tengah dan Yogyakarta menampilkan pertunjukan terbaik mereka. Penari-penari muda itu menari bukan hanya untuk ditonton—mereka menari untuk dikenang, untuk didengar, dan untuk dirasakan. Ada semangat yang membuncah dari setiap gerak, dari setiap hentakan kaki dan lenggak tubuh yang mengikuti suara gamelan.

Baca Juga: Sudah Keluar! Link Pengumuman SPMB Jateng 2025, Cara Lihat Hasil Seleksi SMA SMK

"Kami ingin anak-anak melihat bahwa ini juga indah. Bahwa budaya mereka bisa hidup di tengah hiburan modern," ujar Johannes Harwanto, General Manager Saloka Theme Park, dengan suara pelan namun tegas. Ia percaya bahwa Saloka tidak hanya menjadi tempat bermain, tetapi juga ruang bagi nilai-nilai yang lebih dalam.

Di sisi panggung, Pujiyono, Ketua Sanggar Tunggal Budaya Tuntang, tampak menatap penampilan anak didiknya dengan mata berkaca-kaca.
"Dulu kami hanya tampil di perayaan kecil kampung. Tapi hari ini, kami berdiri di sini, di depan ratusan orang. Saya harap mereka tahu… seni ini bukan sekadar warisan, tapi juga napas kami,” katanya dengan lirih.

Bagi para pengunjung, pengalaman hari itu meninggalkan kesan yang berbeda. Lestari, seorang ibu dua anak asal Salatiga, mengaku tidak menyangka akan tersentuh oleh tarian yang hanya pernah ia lihat sekilas di masa kecil.


"Anak-anak saya sampai terdiam. Biasanya mereka tidak bisa lepas dari gadget, tapi tadi mereka ikut menari. Saya jadi ingat almarhum bapak yang dulu main jaranan di kampung. Rasanya seperti pulang," ucapnya, menahan haru.

Festival ini digelar sebagai bagian dari peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-79. Namun lebih dari itu, ini adalah upaya nyata menjaga ruang-ruang kebudayaan agar tetap tumbuh—di tempat yang mungkin tak disangka-sangka: taman bermain.

Baca Juga: BI Jateng Waspadai Dampak Perang Iran-Israel, Fokus Jaga Daya Beli Masyarakat

Setyo Widodo, Pamong Budaya dari Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang, menyebut acara ini sebagai bentuk nyata kepedulian.
"Di tengah gempuran budaya luar, Saloka justru mengangkat yang asli dari tanah ini. Ini bentuk cinta. Cinta pada warisan yang tak ternilai,” ucapnya.

Sore itu, ketika langit mulai berubah jingga, seorang anak kecil berdiri di tepi panggung. Tangannya menirukan gerakan prajurit, wajahnya serius, langkahnya kikuk tapi penuh semangat. Di matanya—ada kagum, ada tanya, ada harapan. Mungkin, di sanalah budaya benar-benar hidup kembali. Dalam rasa. Dalam kenangan. Dalam jiwa yang masih mau peduli.***

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: arri widiarto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

XLSMART Gelar Pesantren Digital di Demak

Minggu, 14 Desember 2025 | 22:24 WIB
X