AYOSEMARANG.COM -- Pada hari, Senin 24 Februari 2025, Universitas Vrije Amsterdam, Belanda menjadi tuan rumah acara nonton bareng film Colonial Debris. Acara ini diselenggarakan di ruang 3D (Dialoog, Diversiteit, Debat) yang dikenal sebagai ruang diskusi inklusif di kampus tersebut.
Colonial Debris merupakan versi bahasa Inggris dari film Tanah Moyangku produksi Watchdoc Documentary dan disutradarai Edy Purwanto. Kegiatan nonton bareng ini adalah aktivitas rutin bulanan yang sekaligus menjadi media pembelajaran mahasiswa antropologi Universitas Vrije. Colonial Debris adalah film Indonesia pertama yang diputar dikegiatan ini.
Film Colonial Debris atau Tanah Moyangku adalah film dokumenter yang membahas ketidakadilan agraria di Indonesia. Ketidakadilan agraria di Indonesia itu memiliki akar panjang sejak era kolonial Belanda yang memberlakukan Agrarische Wet pada tahun 1870. Undang-undang itu mengklaim tanah-tanah yang tak memiliki bukti kepemilikan (sertifikat) sebagai milik negara (kolonial Belanda).
Sayangnya pemahaman serupa terus dilanjutkan hingga Indonesia merdeka yang kemudian memicu berbagai konflik agrarian karena pemerintah lebih memilih memberikan konsesi lahan kepada korporasi. Salah satu korporasi yang banyak mendapatkan konsesi lahan dalam jumlah besar adalah perkebunan kelapa sawit. Tahun 2022, diperkirakan lahan perkebunan sawit mencapai 16,8 juta hektar.
Film Colonial Debris mengangkat dampak industri minyak sawit di Indonesia, khususnya bagaimana ekspansi perkebunan sawit telah mengakibatkan konflik agraria, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Film ini menyoroti praktik-praktik buruk dalam tata kelola industri sawit, termasuk praktek-praktek perampasan tanah masyarakat adat, dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Melalui narasi yang kuat dan visual yang menggugah, film ini berhasil menyampaikan pesan tentang pentingnya keadilan lingkungan dan agraria.
Acara nonton bareng dimulai pukul 19.00 waktu setempat. Ruang 3D dipenuhi oleh sekitar 60 orang mulai dari mahasiswa baik dari Belanda ataupun Indonesia yang sedang menimba ilmu di Belanda, dosen, warga Belanda yang tertarik dengan isu-isu di Indonesia serta masyarakat Indonesia yang sudah lama tinggal di Belanda.
Selama pemutaran, suasana ruangan terasa hening dan penuh konsentrasi. Adegan-adegan yang menggambarkan kerusakan hutan, penderitaan masyarakat adat, dan ketidakadilan sistemik yang mereka hadapi berhasil menyentuh emosi penonton. Banyak peserta yang terlihat prihatin dan terharu, terutama ketika melihat betapa kompleksnya masalah yang dihadapi oleh masyarakat lokal.
Respon penonton terhadap film umumnya penuh keprihatinan. Banyak peserta yang terkejut mengetahui bahwa produk-produk turunan minyak sawit, yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Eropa, ternyata diproduksi melalui tata kelola yang buruk dan merugikan masyarakat serta lingkungan di Indonesia.
Usai pemutaran film dilanjutkan dengan diskusi panel yang menghadirkan Edy Purwanto (sutradara film Colonial Debris), Arie Rompas (aktivis Greenpeace Indonesia), Danielle van Oijen (aktivis Milieudefensie) dan Prof. Ward Berenschot (peneliti KITLV dan produser eksekutif film). Diskusi panel dipandu oleh Rahma Lutfiny Putri, mahasiswa doktoral Antropologi universitas Vrije asal Indonesia.
Pada kesempatan ini, Edy Purwanto menjelaskan proses pembuatan film dan motivasi di baliknya. Sementara Arie Rompas membagikan pengalamannya dalam memperjuangkan melawan proses deforestasi di Indonesia, Danielle van Oijen anggota Miliudefensie (Pertahanan Lingkungan-salah satu organisasi lingkungan terbesar di Belanda) memberikan perspektif internasional tentang tanggung jawab konsumen Eropa terhadap dampak industri sawit. Sementara Prof. Ward Berenschot memberikan analisis akademis tentang isu agraria dan lingkungan di Indonesia.
Acara nonton bareng dan diskusi panel ini berhasil menciptakan ruang dialog yang produktif antara berbagai kalangan. Pesan utama yang dapat diambil adalah bahwa masalah industri sawit tidak hanya menjadi tanggung jawab Indonesia, tetapi juga masyarakat global.
Seperti yang dikatakan oleh Edy Purwanto, "Film ini bukan hanya tentang Indonesia, tetapi tentang kita semua. Film *Colonial Debris telah membuka mata banyak orang tentang dampak industri sawit dan ketidakadilan agraria, dan acara ini menjadi langkah awal yang penting untuk mendorong perubahan.