BANDUNG, AYOSEMARANG.COM - Pertemuan Indonesia Social Media Network (ISMN) Meet Up Bandung 2025 yang digagas Ayo Media Network di Nara Park, Selasa, 2 Desember 2025, dibuka dengan kegelisahan bersama mengenai ekosistem konten digital yang semakin ditentukan oleh algoritma.
Para pengelola homeless media, influencer lokal, dan redaksi media arus utama menyoroti bagaimana konten viral kerap mendominasi ruang publik dan mendorong kreator mengambil jalan pintas.
Fenomena konten viral menjadi perbincangan paling awal karena dianggap paling relevan dengan kointeks kekinian. Algoritma membuat publik lebih cepat terpapar sensasi ketimbang substansi, sementara kreator dipaksa berlomba menghadirkan kemasan semenarik mungkin. Isu ini kemudian dijadikan pintu masuk untuk membahas bagaimana platform digital seharusnya menjalankan peran edukatif alih-alih semata mengejar perhatian.
Pemimpin Redaksi Ayobandung.id, Andres Fatubun, mengingatkan bahwa kecenderungan mengejar impresi sering membuat fakta dikaburkan. Ia menilai kreativitas yang terlalu didorong algoritma justru berpotensi mengacaukan akurasi informasi yang menjadi pokok dalam berita.
“Saking kreatifnya, bahkan ingin beritanya dibuat menarik tapi malah mengaburkan fakta karena tujuannya mengejar algoritma,” katanya.
Ia mencontohkan bagaimana Ayobandung memanfaatkan konten viral sebagai pintu masuk pendalaman isu. Keluhan publik mengenai pembangunan trotoar, misalnya, selalu ditelusuri ke proses kebijakan, target, hingga persoalan teknis di lapangan.
Konten viral menurut Andres tak bisa dinafikan pengaruhnya terutama bagi jangkauan platform, namun yang menjadi tantangan dan senantiasa diupayakan adalah bagaimana memoles vitalitas di permukaan menjadi konten yang mengupas persoalan hingga kedalaman.
“Tantangannya bagaimana memadukan konten viral ini menjadi konten informatif yang lebih dalam,” ujarnya.
Setelah menyinggung persoalan viralitas, Andres memaparkan temuan riset terbaru Universitas Multimedia Nusantara yang mencatat 77% audiens kini mengakses berita harian lewat media sosial. Angka itu jauh melampaui pembaca portal berita yang tinggal 39%. Dominasi media sosial juga terlihat dari data bahwa 85,4% publik menjadikan media sosial sebagai sumber informasi utama, dibandingkan situs web 49,6% dan aplikasi berita 19,7%. Menurut dia, fakta tersebut memaksa redaksi menata ulang cara kerja tanpa mengorbankan verifikasi.
Ia juga menekankan bahwa homeless media, yang menjadi sumber viralitas lokal sehari-hari, kini semakin diperhitungkan dalam lanskap media. Seiring dengan itu, menurutnya, pengelola media lokal berbasis Instagram juga terbukta untuk menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak termasuk media mainstream.
“Teman-teman homeless media kalau diajak kolaborasi sangat terbuka, kenapa tidak diperluas,” katanya.
Persoalan lain yang harus menjadi fokus menurutnya adalah praktik comot konten yang sering menyeret pengelola akun ke persoalan hukum, terutama karena mereka tak memiliki mekanisme perlindungan seperti Dewan Pers. Ia melihat kolaborasi menjadi jalan tengah antara kecepatan distribusi informasi ala homeless media dan ketelitian redaksi.
“Keinginan kita untuk kolaborasi itu kuat. Homeless media punya kecepatan dan jangkauan lebih luas, kita di redaksi unggul dalam verifikasi,” ujarnya.
Chief Digital Startup, E-commerce & Fintech PT Sharing Vision Indonesia, Nur Islami Javad, dalam paparannya menyoroti pergeseran perilaku digital masyarakat terutama slama 2025. Ia menyebut gaya hidup sepenuhnya daring kini bukan preferensi mayoritas, dengan hanya sekitar seperempat responden yang menggunakan internet lebih dari delapan jam per hari.