SEMARANG, AYOSEMARANG.COM - Aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh di berbagai daerah menimbulkan fenomena baru, yakni adanya keterlibatan anak-anak yang berakhir ditangkap kepolisian.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), misalnya, mencatat bahwa setidaknya ada 195 anak yang diamankan di Polda Metro Jaya selama hampir 20 jam pada saat demo di DPR pada Senin 25 Agustus 2025.
Kemudian Polda Jateng merilis sebanyak 1.747 orang diamankan dalam aksi unjuk rasa berujung anarkis pada 29–31 Agustus 2025. Dari jumlah itu, 687 orang dewasa, sedangkan 1.058 lainnya adalah anak-anak.
Sosiolog Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang Gunawan Pancasiwi menilai keterlibatan anak-anak dalam aksi massa ini bukanlah hal yang wajar dalam sejarah pergerakan Indonesia. Pola kali ini sangat berbeda dibanding demonstrasi mahasiswa 1998.
"Bupati Kediri sendiri kaget karena sebagian besar perusuh ternyata anak-anak SMP dan perempuan. Di Solo juga terlihat anak-anak muda, bahkan ada yang berusia 13 tahun, saat ditangkap hanya toleh kanan-kiri. Ini sangat memprihatinkan," ujarnya Gunawan saat dikontak, Rabu 3 September 2025.
Bahkan, banyak peserta muda yang terlibat dalam kerusuhan bukan berasal dari daerah setempat. Mereka didatangkan dari luar wilayah untuk memperbesar skala kerusuhan.
"Di Solo, saat polisi menanyakan asal-usul, lebih dari 90 persen mengaku dari luar kota, seperti Sragen atau Sukoharjo. Jadi jelas ada desain tertentu. Mereka dipilih karena murah dibayar dan tidak dikenal warga sekitar," ujarnya.
Sedangkan dari segi psikologi massa, Gunawan menyebut anak-anak mudah terbujuk dengan iming-iming uang atau sekadar mengikuti teman sebaya. Dalam aksi massa yang terdiri dari banyak orang itu mereka merasa anonim sehingga berani bertindak di luar kendali.
Bahkan menurutnya, anak-anak itu tidak benar-benar paham isu yang sedang disuarakan.
"Literasi politik anak usia 13-15 tahun itu masih rendah. Mereka belum memahami isu ketidakadilan, tetapi mudah terpengaruh oleh uang atau ajakan teman. Dalam kerumunan, tanggung jawab terasa terbagi rata sehingga mereka menjadi lebih berani dan nekad," katanya.
Lebih lanjut, menurut Gunawan, unjuk rasa kali ini bukan spontanitas tetapi hasil dari rekayasa pihak tertentu. Dalam hal ini, anak-anak sengaja dilibatkan untuk menciptakan kerusuhan dengan biaya murah.
"Misalnya, terjadi seperti biasa akan ada orang berjaket naik sepeda motor lalu lewat di situ lalu teriak bakar. Lalu dia menghilang dan anak-anak ini kemudian terdorong emosinya seperti itu," ujarnya.