Di Kesultanan Yogyakarta tradisi grebeg pertama kali digelar pada masa pemerintahan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Saat tradisi ini digelar para bupati dan pejabat dari seluruh wilayah Kesultanan Yogyakarta akan hadir guna menghadap Sultan dan menyerahkan upeti.
Hal ini membuat gerebeg tidak hanya sebagai tradisi keagamaan tetapi memiliki nuansa politik sebagai tanda bukti kesetiaan.
Baca Juga: 5 Tempat Wisata di Jateng Terbaik Saat Libur Lebaran 2023, Rekomendasi Pas Buat Anda
Puncak acara grebeg ditandai dengan dikeluarkannya sedekah raja berupa gunungan yang memiliki makna rasa syukur atas melimpahnya hasil bumi dari wilayah kerajaan.
Setelah Kesultanan Yogyakarta berintegrasi dengan Republik Indonesia tradisi ini disesuaikan dengan kondisi dengan menghapus sistem upeti.
Mulai tahun 1970 tradisi grebeg di Keraton Yogyakarta dikembangkan sebagai wisata budaya.
Tradisi Grebeg Syawal di Keraton Yogyakarta ditandai dengan mengeluarkan lima macam gunungan, yaitu gunungan lanang, gunungan wadon, gunungan darat, gunungan gepak dan gunungan pawuhan.
Khusus gunungan lanang dibuat sebanyak 3 buah sehingga total gunungan sebanyak 7 buah.
Ketujuh gunungan tersebut diusung oleh abdi dalem dengan pengawalan prajurit Bregodo dari Alun-alun Utara Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menuju tiga tempat.
Lima gunungan dibawa menuju Masjid Gedhe Kauman dan yang satu dibawa ke Pura Pakualaman serta satu dibawa ke Kepatihan.
Gunungan yang diserahterimakan dan telah didoakan selanjutnya diperebutkan oleh masyarakat.
Tradisi perebutan itulah yang menandai berakhirnya rangkaian upacara Grebeg Syawal di Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat yang penuh dengan makna.***