AYOSEMARANG.COM - Dewasa ini, pemenuhan BBM sebagai sumber bahan bakar alat transportasi sudah menjadi bagian dari kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Kebijakan kenaikan Pertamax ini menyebabkan banyak perubahan dalam perekonomian, meskipun tidak secara drastis.
Namun hal ini berpengaruh signifikan terhadap demand dan supply BBM Pertamax.
Kenaikan Pertamax ini dipicu oleh naiknya harga minyak mentah dunia yang mencapai lebih dari USD $113,5 per barel yang mana angka tersebut jauh dari perkiraan APBN yaitu USD $63 per barel.
Selain itu, pemerintah juga menjelaskan bahwa Pertamax bukanlah BBM subsidi yang mana kenaikan ini tidak akan berdampak signifikan dikarenakan pengguna Pertamax didominasi dari masyarakat kalangan menengah ke atas.
Baca Juga: Daftar Lokasi Rest Area Tol Trans Jawa Mudik Lebaran 2022
Diperkirakan pengguna BBM non subsidi Pertamax di Indonesia yaitu sekitar 15%, sedangkan sisanya merupakan pengguna Pertalite dan Solar.
Di sisi lain, perang yang terjadi saat ini diantara Ukraina dan Rusia menjadi faktor geopolitik, namun alasan ini dirasa kurang tepat untuk menjadi satu-satunya faktor kenaikan BBM non subsidi Pertamax sebagaimana yang diungkapkan oleh Widhyawan, salah satu praktisi migas senior.
"Untuk transisi energi yang harusnya menjauhi fosil fuel, tapi ternyata ketergantungan fosil fuel sangat tinggi sehingga terjadi sesuatu yang kaitanya dengan harga yang sedemikian tinggi. Jadi harga tinggi itu bukan karena perang Rusia-Ukraina saja, perangnya itu menambah risiko, premium risk dari geopolitics," ungkap Widhyawan dalam bincang-bincang bersama Media dan Indonesia Petroleum Association (IPA), Selasa (19/4/2022).
Pemerintah menyebutkan bahwa lonjakan ini masih dibawah harga keekonomiannya. Sesuai dengan KepMen ESDM No. 62 Tahun 2020 perhitungan dengan menggunakan rata-rata MOPS/Argus 3 bulan terakhir, harga akhir Peramax seharusnya berkisar pada 15.292 per liter (termasuk PPN dan PBBKB), namun pemerintah hanya menetapkan harga Pertamax pada angka 12.500 per liternya.
Pemerintah menghimbau kepada masyarakat untuk tetap mempertimbangkan kemampuan daya beli dan tidak beralih dari Pertamax ke Pertalite. Selain untuk menghindari ketidakseimbangan demand dan supply yang menyebabkan kelangkaan, juga untuk membantu Pertamina memulihkan kembali keuangan perusahaan akibat tekanan dari besarnya subsidi yang harus ditanggung untuk BBM penugasan, seperti Premium dan Pertalite.
Baca Juga: PPN Naik Menjadi 11%, Tepatkah Kebijakan Ini?
Ada baiknya bagi pemerintah untuk terus memantau keberjalanan kebijakan satu ini. Meskipun pengguna Pertamax tidak sebanyak BBM jenis lain, namun tetap perlu adanya pengawasan agar tidak ada migrasi konsumsi dari Pertamax ke Pertalite.
Selain itu, perlu adanya penjelasan dan/atau sosialisasi untuk memahamkan kondisi aktual dari alasan mengapa Pertamax ini dinaikkan untuk menghindari asumsi premateur dari masyarakat.***
Penulis: Eka Kusuma Putri, Mahasiswi S1 Ekonomi Pembangunan UNS Surakarta.