AYOSEMARANG.COM -- Universitas Islam Malang (Unisma) menggelar forum spiritual Mbalah Aswaja di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an – LP3IA, Desa Narukan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Forum ini dipandu langsung ulama kharismatik KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, dengan fokus memperkuat karakter Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) melalui kajian Al-Qur’an dan hadis.
Rektor Unisma, Prof. Drs. Junaidi Mistar, Ph.D., menegaskan bahwa kehadiran civitas akademika ke pesantren adalah wujud penghormatan pada tradisi keilmuan.
“Santri itu yang sowan ke kiai. Kami hadir untuk ngaji dan menepati kaidah santri, belajar memperkokoh karakter keaswajaan melalui Al-Qur’an dan hadis. Semoga majelis ini diridai Allah SWT dan menjadi ilmu yang manfaat serta barokah,” ujarnya.
Selain memperdalam pengetahuan agama, kegiatan ini juga diarahkan untuk menumbuhkan kepekaan spiritual dan karakter mahasiswa.
Dalam tausiyahnya, Gus Baha menekankan pentingnya aksesibilitas ilmu agama.
“Ilmu agama harus mudah diakses dan tidak dibatasi birokrasi. Nabi selalu melayani umat secara langsung. Di kampus kan ada jalur struktural, di masyarakat jalur kultural. Keduanya harus saling menguatkan agar ilmu agama bisa dijangkau semua.”
Ia juga meluruskan pemahaman tentang fikih haji badal.
“Amal tergantung niat. Menghajikan orang yang semasa hidup tidak pernah berniat haji tidak berarti diberi pahala haji. Bisa jadi itu hanya urusan administratif waris. Idealnya, yang penting adalah niat dan ikhtiar selama masih hidup dan mampu,” jelasnya.
Gus Baha turut menggarisbawahi etika sosial dalam beragama, mulai dari pemisahan ruang privat dan publik, etika bertanya, hingga sensitivitas terhadap kebutuhan keagamaan perempuan.
“Pengelolaan ilmu Islam yang luwes, baik melalui lembaga pendidikan maupun majelis taklim, adalah ciri khas Aswaja yang mengedepankan kemaslahatan,” tuturnya.
Forum Mbalah Aswaja ini menjadi ruang reflektif bagi civitas akademika Unisma dan jamaah yang hadir, sekaligus mempertegas peran pesantren sebagai pusat penguatan nilai keaswajaan.
“Kami datang untuk belajar dan terus berusaha menghadirkan ilmu yang membentuk karakter, bukan sekadar pengetahuan,” tutup Prof. Junaidi