SEMARANG, AYOSEMARANG.COM - Sebagai kota peninggalan bangsa Eropa, Semarang jadi salah satu tempat yang punya sejarah panjang terhadap agama nasrani.
Tak heran di Kota Semarang terdapat banyak gereja-gereja tua. Misal sebut saja Gereja Katedral, Gereja Blenduk, dan terutama Gereja Gedangan.
Menyinggung soal Gereja Gedangan tentu banyak yang menarik karena gereja ini yang paling tua milik umat Katolik.
Namun kali ini yang bakal dibahas bukan gerejanya melainkan sekolah biara yang berada di depan Gereja Gedangaan ini atau Susteran Gedangan.
Perwakilan STPKat St. Fransiskus Assisi, FR. Wuriningsih alias Sr.M. Bertha OSF mengonfirmasi jika susterannya adalah yang paling tua.
Saat disambangi di Susteran Gedangan yang berlokasi di Jalan Ronggowarsito No 11, Bertha menyodorkan buku Deus Providebit, 125 Tahun Tarekat OSF di Indonesia (1995).
Dalam buku itu menyebut, Gedangan adalah saksi utama kedatangan awal pengabdian dan pengembangan hidup serta karya Suster-Suster St. Fransiskus dari Tapa Denda dan Cinta Kasih kristiani.
Era awal pengabdian suster-suster di Indonesia ditandai dengan datangya misionaris dari negeri Belanda dalam jumlah yang cukup banyak.
"Empat belas biara dibuka antara tahun 1870-1933; 12 di Jawa Tengah, 1 di Flores dan 1 lagi di Langgur, Kei. Dari belasan itu, yang dibuka pertama kali adalah di Susteran Gedangan Semarang," ungkap Bertha.
Setelah dibuka seiring waktu berjalan Susteran Gedangan menjadi pusat segala kegiatan rohani dan jasmani para suster sebelum memulai karya baru mereka di berbagai tempat di seluruh pelosok Indonesia.
Susteran Gedangan itu juga yang jadi saksi sejarah tarekat OSF Propinsi Indonesia.
Kemudian dikarenakan yang tertua Susteran Gedangan mendapat julukan biara induk. Sebab, telah mampu melahirkan, memelihara dan menyaksikan perjalanan panjang putri-putri Ibu Magdalena Daemen sejak tanggal 5 Februari 1870 sampai sekarang.
Suster Bertha menjelaskan, sejarah Susteran Gedangan ini pada 1800-an, Romo di Gereja Katolik St. Yusuf Semarang (yang berlokasi di depan Susteran Gedangan), bernama Monsinyur Joseph Lijnen, datang ke Belanda menjumpai Konggregasi Fransiskan di sana. Lokasinya di Biara Heythuisen Belanda.
Lijnen meminta suster-suster datang ke Gedangan Semarang untuk memberikan pelayanan. Kemudian, Magdalena Daemen selaku pendiri Konggregasi Fransiskan di Belanda mengirimkan 11 suster St. Fransiskus ke Semarang pada tahun 1870.