SEMARANG, AYOSEMARANG.COM - Pengrajin Batik Semarang terus berupaya untuk melestarikan kerajinan warisan kotanya meskipun sambil tertatih-tatih karena tergerus kemajuan zaman.
Hal itulah yang selalu diupayakan oleh Siti Afifah, pengrajin Batik Semarangan sekaligus pemilik Batik Figa.
Sebagai salah satu pelopor pengrajin di Kampung Batik, Siti menyadari bahwa batik Semarangan kini tak terlalu eksis di kalangan anak muda Semarang.
“Masih belum, masih setengah-setengah. Kampung Batik aja orang Semarang banyak yang belum tau sebetulnya,” katanya saat Hari Batik pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Baca Juga: Pj Gubernur Jateng Serahkan Tali Asih Peraih Medali PON XXI Senilai Rp60,6 Miliar
Lebih lanjut Siti membeberkan, padahal batik Semarangan memiliki corak yang beragam dan sangat unik.
Batik Semarangan memiliki perbedaan yang mencolok jika berbanding batik Pekalongan dan Yogyakarta yang banyak ditemui.
“Kalau untuk corak, Batik Semarangan cukup banyak. Ada motif Lawang Sewu, Parang Tugu Muda, Semar Asem, Warak Ngendok, dan lainnya. Yang khas Semar Asemnya,” sambungnya.
Saat ini, Siti menyadari, Batik Semarangan belum mampu menyamai eksistensi batik daerah lainnya. Salah satu penyebabnya menurutnya karena persaingan yang tidak sehat dari batik printing sampai tesktil impor Cina.
Siti sendiri bersama Batik Figa dan pembatik di Kampung Batik konsisten mempertahankan batik canting atau homemade. Di sisi lain, batik cap atau printing telah menjadi musuh batik canting sejak lama.
Sementara tekstil impor dari China, lanjut Siti, menjadi ancaman baru yang berbahaya. Sebab ia khawatir, pabrik tekstil bisa menjiplak motif batik Semarangan.
“Mereka dari potongan atau motifnya bakalan lebih rapi karena pakai mesin, kalau nyanting pasti ada tumpah-tumpahannya. Kemudian dari sisi harga juga lebih terjangkau, batik canting lebih mahal,” kata Siti.
Meski begitu, Siti masih berysukur bahwa sekolah-sekolah di Semarang banyak yang menerapkan kurikulum membatik.