"Kami pun menempati toko ini sekitar tahun 60-an," ujar Edy.
Saat menempati toko, sempat ada perubahan. Pelebaran jalan Pemuda membuat keluarganya harus memotong beberapa meter halaman.
Kali pertama mereka tiba, keluarganya sadar tempat itu dulu toko roti yang melegenda. Ibu Edy yang bernama Meliawati kemudian ingin meneruskan usaha tersebut.
"Tapi awal-awal yang sempat gagal karena ibu nggak punya basic pembuat roti. Namun lama-lama, menjalani proses dan pelatihan, kami resmi membuka toko ini. Awalnya namanya Jaya Wijaya," terangnya.
Satu yang membuat Maigon Hoogvlet masih terhubung dengan Roti Wijaya adalah adanya tulisan (d/h HOOGVLET) di bungkus rotinya.
Dari awal buka, Meliawati masih mendapat resep lama ala roti orang Belanda. Dia menyediakan Roti Baguette dan Roti Buaya. Namun apabila disamakan dengan lidah orang Indonesia, rasanya tidak relevan.
"Itu rotinya keras. Kami buat gaya orang lokal saja. Tapi lama-lama sudah tidak buat lagi karena nggak laku juga," paparnya.
Edy membeberkan bahwa dia sebetulnya tidak dibina oleh orangtuanya untuk menjadi pengusaha roti. Awalnya adalah sang kakak yang dikader. Edy sendiri sehabis SMA merantau ke Malang dan Jakarta.
Baru kemudian di tahun 1995, dia balik. Ibunya sakit kanker dan hidupnya seperti waktu di dalam Jam Pasir. Dia pun pulang untuk menemani ibunya sampai akhir hayat.
Ketika ibunya sudah meninggal, kakaknya punya ladang kerjaan yang lebih menggiurkan daripada toko roti. Akhirnya aset toko roti itu diserahkan ke Edy.
Edy tak mengubah apapun warisan keluarganya. Dia dibantu istrinya, Tuti, membuat roti khas Wijaya, yang tanpa pengawet.
Ada roti pisang, pisang polos, keju, coklat. Kemudian roti ayam, roti nanas, roti keju dan jenis pia yang berisi coklat serta keju.
Untuk roti signature dish di Wijaya Bakery adalah berbagai jenis roti pisang, baik pisang polos, pisang coklat maupun keju.