SEMARANG, AYOSEMARANG.COM - Waktu bagi Wijaya Bakery Semarang seperti apa yang dibilang oleh AS Laksana; penghianat paling bengis, penjahat tak tertundukan yang menyiksa kita pelan-pelan dan menggerogoti kita sedikit demi sedikit.
Waktu juga yang kemudian memaksa Edi Wijaya, pemilik Wijaya Bakery untuk memasang spanduk kecil bertuliskan "dijual" di atas tulisan toko rotinya.
"Kami pasang harga Rp 11 Miliar," ungkapnya saat ditemui Sabtu 8 Februari.
Edi bilang saat ini dia keberatan untuk menanggung segalanya; PBB, listrik dan biaya operasional toko. Ongkos yang dia keluarkan per tahun bisa buat membeli motor Vario, katanya. Terlebih, toko roti Wijaya bukan usaha besar seperti samping-sampingnya di Jalan Pemuda.
Kendati pernah jaya, Wijaya Bakery kini hanya seperti usaha rumahan yang mungkin omzetnya tak besar.
"Berat diongkos untuk sekarang," ungkap Edi yang kini sudah berusia 62 tahun.
Di sela-sela keluhannya, Edi menunjukan sebuah foto lama dari HP-nya. Sebuah foto hitam putih lalu ada rumah dua lantai dengan tulisan "Maigon Hoogvlet".
Di depan rumah itu terlihat antrean yang memanjang. Lalu ada juga beberapa penunggang sepeda yang melintas. Kata Edi, itu adalah foto lama Wijaya Bakery di zaman Belanda. Dari foto itu juga Edi hendak menunjukan bahwa di tempat yang sama, puluhan tahun yang lalu, tempat ini pernah sejaya itu.
Maigon Hoogvlet, berdasarkan informasi dari Semarang Heritage, memiliki riwayat catatan alamat dan nomor telepon di tahun 1931 serta memiliki tulisan "patissier cusinier" yang artinya pembuat kue. Namun belun terkonfirmasi berdiri sejak kapan.
Sebagaimana catatan itu, Edy menambahkan, usai rezim berganti Jepang, orang-orang Belanda angkat kaki dari Semarang termasuk pemilik toko itu.
Ketika kemudian kemerdekaan direbut Indonesia, banyak aset negara yang dimiliki oleh TNI. Surjowidjojo bapak dari Edy, kebetulan adalah tentara. Dia ditawari toko itu dan akhirnya menyanggupi.