SEMARANG, AYOSEMARANG.COM - Kepala SMAN 11 Semarang, Rr Tri Widiyastuti, disebut belum memahami bahwa penyebaran konten palsu bermuatan pornografi atau deepfake ‘Skandal Smanse’ memiliki konsekuensi hukum pidana.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Jawa Tengah, Emma Rachmawati.
Menurut Emma, pihak sekolah sempat memanggil secara pribadi Chiko Radityatama Agung Putra, mahasiswa baru Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) sekaligus alumni SMAN 11 Semarang, untuk dimintai klarifikasi.
Namun pemanggilan tersebut dilakukan tanpa pemahaman bahwa kasus ini masuk ranah pidana dan memiliki landasan hukum yang jelas dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Baca Juga: Satu Tahun Prabowo-Gibran: Gerakan Rakyat Kritik MBG, TKD, dan Gaya Menkeu Purbaya
“Beliau tidak menyadari bahwa ini termasuk tindak pidana. Kemungkinan kurang memahami undang-undang ITE sehingga memanggil Chiko sebagai alumni dan sekadar menanyakan alasan perbuatannya,” kata Emma di Semarang, Senin 20 Oktober 2025.
Emma menegaskan, fokus utama seharusnya diarahkan kepada korban untuk menggali keterangan dan memastikan perlindungan terhadap mereka.
Sementara dugaan pelaku, menurut Emma, sudah jelas berada dalam ranah penegakan hukum.
Emma juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah memberikan pemahaman kepada pihak sekolah mengenai batas kewenangan dalam menangani kasus hukum, khususnya yang melibatkan perempuan dan anak sebagai korban.
Baca Juga: Siswa SMAN 11 Semarang Gelar Aksi Tuntut Keadilan Korban Deepfake 'Skandal Smanse'
“Jika bukti sudah kuat, kami siap mendorong penyidikan lebih lanjut dan pelaporan ke kepolisian,” tegasnya.
Saat ini, DP3AP2KB Jawa Tengah tengah mendorong para korban agar berani melapor secara resmi. Pengakuan korban dinilai sangat krusial karena kasus ini termasuk delik aduan, sehingga proses hukum hanya bisa berjalan jika ada laporan dari pihak yang dirugikan.
“Saya minta para siswa menahan diri, tetapi tetap mendukung korban agar berani melapor dan terlindungi dari tekanan luar. Tidak bisa hanya berdasarkan kabar atau asumsi, harus ada pernyataan langsung dari korban,” ujar Emma.
Emma menjelaskan, kesediaan korban untuk menyampaikan pengakuan akan memperkuat posisi hukum dalam proses pidana.