Hakordia 2025 di Semarang Soroti Keterkaitan Korupsi dan Krisis Iklim, Pelajar hingga Warga Bersuara

photo author
- Kamis, 18 Desember 2025 | 16:49 WIB
Tiga perwakilan warga menyampaikan pengalaman dampak pembangunan terhadap lingkungan dalam Sarasehan Hakordia 2025 di Semarang.  (ayosemarang.com/Paskah Widi)
Tiga perwakilan warga menyampaikan pengalaman dampak pembangunan terhadap lingkungan dalam Sarasehan Hakordia 2025 di Semarang. (ayosemarang.com/Paskah Widi)

AYOSEMARANG.COM -- Peringatan Hari Anti Korupsi Internasional (Hakordia) 2025 menjadi momentum refleksi atas semakin kuatnya hubungan antara praktik korupsi dan krisis iklim yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

Mengusung tema “Korupsi dan Darurat Iklim”, kegiatan ini digelar di Gedung Balai Bahasa, Semarang, Kamis 18 Desember 2025.

Ratusan peserta dari berbagai latar belakang hadir dalam kegiatan tersebut, mulai dari mahasiswa, pelajar, organisasi masyarakat sipil, hingga warga yang terdampak kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan.

Baca Juga: Gebrakan PSIS Semarang, Datangkan Esteban Vizcarra dan Otavio Dutra Sekaligus!

Hakordia 2025 dirancang sebagai ruang dialog terbuka bagi mahasiswa, pelajar, serta kelompok masyarakat sipil untuk membedah dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan dan krisis iklim.

Forum ini juga menjadi sarana memperkuat jejaring antarkelompok sekaligus menyebarluaskan kampanye publik mengenai pentingnya tata kelola lingkungan yang bersih, transparan, dan berkeadilan.

Rangkaian kegiatan dibuka dengan orasi kebudayaan yang menyoroti relasi antara praktik korupsi sumber daya alam dan bencana kemanusiaan.

Dalam sesi ini ditegaskan bahwa degradasi lingkungan tidak dapat dilepaskan dari keputusan politik dan kebijakan publik yang sarat konflik kepentingan.

Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum, Wakil Ketua KPK periode 2011–2025 sekaligus Ketua PP Muhammadiyah, mengungkapkan bahwa kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia terjadi di berbagai wilayah Indonesia, tidak hanya di Aceh dan Sumatra, tetapi juga di kawasan pertambangan nikel di Halmahera.

Baca Juga: Klarifikasi Wali Kota Semarang soal Kasus Korupsi Chromebook Rp2,1 Triliun

Berdasarkan data yang ia peroleh, sekitar 500 hektare lahan telah mengalami konversi untuk aktivitas pertambangan nikel, disertai kerusakan ekosistem laut primer seluas 36 hektare dalam kurun lima tahun terakhir.

“Sekitar 500 hektare lahan hutan rusak akibat aktivitas pertambangan nikel,” ujarnya.

Busyro menilai kondisi tersebut menjadi bukti seriusnya dampak kerusakan lingkungan terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

Ia menekankan pentingnya perlindungan politik dan hukum bagi warga yang terdampak kebijakan pembangunan dan bencana ekologis, seperti banjir yang kerap terjadi di Aceh akibat deforestasi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: adib auliawan herlambang

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X