SEMARANGSELATAN, AYOSEMARANG.COM - Bekas makam Tionghoa di Kampung Wonodri Kebondalem jadi satu contoh adanya pemakan yang menyatu dengan pemukiman.
Ada contoh selain bekas Makam Tionghoa di Kampung Wonodri, yakni di Kedungmundu, Candisari dan juga Veteran.
Bekas-bekas makam di Kampung Wonodri ini bahkan sudah tidak dianggap sebagai sebuah makam.
Mungkin jika dikatakan sudah menjadi bagian dari lingkungan kampung dalam bentuk bangunan atau bebatuan yang diduduki, diinjak dan dilewat-lewati begitu saja.
Dengan banyaknya makam di kampung-kampung ini terbesit sebuah pertanyaan, kenapa banyak makam Tionghoa yang tersebar secara liar padahal sejak lama, orang Tionghoa hidup dalam satu kawasan di Pecinan Semarang.
Pemerhati Sejarah Kota Semarang Johanes Christiono mengungkapkan alasannya. Kata Johanes, dulu sebelum Belanda datang ke Indonesia atau tepatnya Semarang, orang Tionghoa memang tersebar di banyak tempat.
"Dulu tinggalnya tersebar sejak zaman Cheng Ho. Saat hidup itu praktis mereka membuat permukiman dan di sebuah permukiman pasti ada pemakaman," ucap Johanes saat ditemui beberapa waktu yang lalu.
Pemakaman itu dibuat tentu saja berada di satu kawasan. Jadi dibanding lahirnya permukiman tadi, pemakaman itu duluan ada.
Baca Juga: Medina Zein Terancam 6 Tahun Bui, Ini 5 Fakta dan Nasib Terbarunya
"Namun lambat laun karena adanya pertumbuhan pembangunan kota, makam-makam itu menyatu dengan permukiman hingga sampai sekarang. Selain itu juga banyak makam yang tidak diurus oleh pemiliknya," ungkap Johanes.
Untuk bekas makam Tionghoa di Kampung Wonodri Kebondalem tadi dulunya merupakan kompleks Pemakaman Bangkong atau kata Johanes, Makam Major der Chinezen Be Biauw Tjoan dan kerabatnya.
Barangkali, di masa lampau banyak tokoh-tokoh penting orang Tionghoa di Semarang yang dimakamkan di sana, namun sudah dipindahkan.
"Makam-makam itu diperkirakan sudah berusia ratusan tahun atau sejak era 1700-1900," paparnya.