Bertahun-tahun berselang, setelah Hindia Belanda jatuh ke Inggis, penyebaran agama kristen terus berlanjut di bawah kepemimpinan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles.
Inggris bahkan menurunkan 3 pendeta untuk menyebarkan injil yakni C Bruckner, Supper dan Kam.
Bruckner dikirim ke Semarang, Supper ke Jakarta dan Kam ke Ambon.
"Di Jawa penyebaran Injil begitu susah. Pribumi yang mayoritas sudah beragama Islam menolak keras atau tidak mengacuhkannya," ungkap Amen.
Bahkan para Pendeta Belanda sampai belajar bahasa Jawa agar mempermudah penyebaran.
Penolakan demi penolakan dilakukan sampai puncaknya pada Perang Diponegoro yang terjadi selama bertahun-tahun.
Pemerintahan Hindia Belanda kemudian tidak ingin terus menerus mengalami Perang Diponegoro. Kemudian lebih berhati-hati dan lalu menganggap jika agama Islam tidak bisa sembarangan dimainkan.
Alhasil, penyebaran agama Kristen melalui Injil pun diperketat untuk kepentingan keselamatan.
"Pendeta yang hendak menyebarkan agama Kristen dan kitab Injil pun harus menerima izin dari Gubernur Hindia Belanda dengan berbagai persyaratan yang terbatas pula," jelas Amen.
Semenjak perang itu, agama Kristen tidak bisa sembarang diajarkan kepada setiap orang terlebih yang sudah memiliki agama Islam dengan patuh.
Baca Juga: (SEMARANGAN) Gereja Blenduk Part 1: Bangunan Ikonik di Kota Lama Semarang yang Sarat Sejarah
Pada 3 November 1849, seorang pendeta baru bernama W Hoezo datang ke Semarang.
Di sini oleh seniornya C. Bruckner diajari juga bahasa Jawa. Begitu datang di Semarang Hoezo tinggal di Kampung Mlaten yang saat ini berada di sekitar Jalan Dokter Cipto.
Di Mlaten, tidak dinyana Hoezo dengan kebaikannya jadi pendeta yang rajin dan bersahabat dengan warga sekitar.