PEKALONGAN, AYOSEMARANG.COM - Dalam sebuah aksi yang mengguncang ketenangan kota kecil Pekalongan, ratusan pelajar SMAN 3 memecah kesunyian pagi dengan tuntutan keadilan yang membahana. Mereka menuntut pemecatan dan hukuman setimpal bagi seorang guru Bimbingan Konseling (BK) yang diduga telah melakukan pelecehan terhadap puluhan siswi selama hampir dua dekade. Kisah ini mengungkap sisi gelap di balik tembok sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman bagi para siswa untuk tumbuh dan belajar.
Lapangan olahraga SMAN 3 Kota Pekalongan yang biasanya dipenuhi suara tawa dan semangat para siswa, kini bergema dengan teriakan protes dan tuntutan keadilan. Ratusan pelajar, didukung oleh alumni yang juga mengklaim sebagai korban, bersatu dalam aksi unjuk rasa menuntut pemecatan guru BK berinisial SW pada Rabu 2 Oktober 2024.
"Data yang kami dapatkan korban dipilih secara acak mungkin sesuai dengan selera, mungkin sesuai dengan kelasnya, makanya dibawa ke ruangan di-interview dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke seksual," ungkap Imamul Abror, kuasa hukum korban dari LBH Adhyaksa.
Ia menambahkan, "Banyak dari korban ini merasa ini bukan interview, seakan aku dihakimi seakan aku dilecehkan."
Modus operandi yang digunakan SW terungkap begitu licik dan memanfaatkan posisinya sebagai guru BK. Dengan dalih memberikan bimbingan konseling, ia memanggil siswi-siswi ke ruangannya. Namun, alih-alih mendapat bimbingan, para siswi ini justru dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang sangat pribadi dan tidak senonoh.
Kisah pilu ini tidak hanya terbatas pada satu generasi. Sejak bertugas di tahun 2006, diduga SW telah melakukan aksi tidak terpujinya selama 18 tahun terakhir. Fakta ini semakin memperkuat kemarahan para demonstran yang merasa sistem pendidikan telah gagal melindungi mereka.
Ironisnya, respons awal dari pihak sekolah hanya berupa Surat Peringatan (SP) 1, yang dianggap jauh dari cukup oleh para korban dan pendukungnya. Tindakan ini memicu gelombang protes yang lebih besar, termasuk aksi mogok belajar oleh seluruh siswa.
Ketegangan semakin meningkat ketika terungkap bahwa pihak sekolah sempat melakukan upaya intimidasi terhadap organisasi kesiswaan, meminta mereka untuk tidak terlibat dalam aksi protes dan menghapus unggahan terkait kasus ini di media sosial. Tindakan ini dianggap sebagai upaya untuk menjaga nama baik sekolah, namun justru semakin menyulut amarah para siswa dan alumni.
Baca Juga: Ulah Gangster Bikin Resah, Pj Gubernur Jateng: Perlu Ada Shock Terapy
Sementara polisi berjaga-jaga di lokasi aksi, mereka berjanji akan memproses kasus ini secara hukum jika ada laporan resmi yang masuk. Namun, bagi para korban dan keluarganya, janji ini terasa belum cukup. Rencana aksi lanjutan oleh para orang tua yang marah menunjukkan bahwa kasus ini masih jauh dari selesai.
Kasus ini membuka mata pada realitas pahit yang mungkin tersembunyi di balik dinding-dinding sekolah. Ini bukan hanya tentang satu guru atau satu sekolah, tetapi tentang sistem yang memungkinkan pelecehan seperti ini berlangsung selama bertahun-tahun tanpa terdeteksi.