Sumanto dan Filosofi Kepemimpinan Jawa: Ketika Hati dan Rembugan Menjadi Kompas

photo author
- Selasa, 17 Juni 2025 | 15:15 WIB
Ketua DPRD Jawa Tengah, Sumanto. (Dok.)
Ketua DPRD Jawa Tengah, Sumanto. (Dok.)

SEMARANG, AYOSEMARANG.COM– Di tengah dinamika politik yang kadang keras dan kaku, Sumanto memilih jalan berbeda. Sebagai Ketua DPRD Jawa Tengah, ia meniti jalur kepemimpinan yang bersumber dari kearifan lokal: falsafah Jawa. Bukan sekadar strategi, melainkan prinsip hidup yang telah ia hayati dalam tiap keputusan dan interaksi.

Ngolah Roso dan Rembugan adalah dua nilai inti yang selalu ia kedepankan. Ngolah Roso, menurutnya, adalah seni mengelola rasa—kemampuan seorang pemimpin untuk menyelaraskan batin, memahami isyarat yang tak terucap, serta menangkap suasana hati orang lain sebelum mengambil langkah. Sebuah kepemimpinan yang tak gegabah, tapi peka dan lembut dalam sikap.

“Dalam memimpin, penting untuk tidak reaktif. Keputusan harus diambil dengan hati-hati, dengan rasa saling memahami. Orang Jawa itu banyak simbol dan isyarat yang tidak tersurat, dan di situlah pentingnya kepekaan,” ujar Sumanto.

Baca Juga: PSIS Semarang Cari Pelatih Baru untuk Liga 2, Pelatih Lokal Jadi Prioritas
Sebagai politisi senior dari PDI Perjuangan, Sumanto memahami bahwa ruang politik tak bisa diisi ego semata. Terlebih di DPRD Jateng, di mana 120 wakil rakyat datang dari berbagai latar belakang dan partai. Menyatukan visi bukan perkara mudah, tapi bukan pula mustahil—asal ada satu kunci: **Rembugan**.

“Dalam budaya Jawa, tidak ada yang boleh menang-menangan. Semua harus saling memberi, saling menerima. Mencapai mufakat itu utama. Kalau mentok, baru voting jadi jalan terakhir,” ujarnya, tersenyum.

Ia menegaskan bahwa rembugan bukan hanya formalitas, tapi gaya kepemimpinan yang mendengar sebelum menyuruh, menghargai sebelum menuntut. “Rembugan adalah style. Voting itu panggung depan, tapi panggung belakang, di mana semua berdiskusi, itu yang lebih penting.”

Dalam pandangan Sumanto, seorang pemimpin bukanlah orang yang hanya berdiri di depan memberi perintah. Ia harus bisa mengayomi, menimbang rasa, dan menjadikan suara rakyat sebagai kompas.

Namun, di balik kesibukannya sebagai tokoh politik, Sumanto tetap menjaga keseimbangan hidup. Ia meluangkan waktu untuk hal-hal yang ia cintai—bersepeda, berenang, dan sesekali menikmati kopi hangat untuk menjernihkan pikiran.

Baca Juga: Mau Jadi ASN atau Kerja di Swasta? Ini 10 Peluang Karier Lulusan Administrasi Publik

“Kalau lagi penat, saya berolahraga atau ngopi. Itu cara saya menjaga kewarasan. Hidup ini perlu kesenangan kecil agar tetap waras,” ucapnya dengan tawa ringan.

Di era yang serba cepat dan kompetitif, Sumanto menghadirkan napas baru dalam dunia politik: bahwa kepemimpinan yang baik tak selalu soal ketegasan. Kadang, justru dari kelembutan dan kearifan lokal lahir kekuatan yang paling sejati. Kepemimpinan yang mendengar, merasa, dan merembug.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: arri widiarto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Bank Jateng Fasilitasi Rekening Gaji 3.352 PPPK Pemalang

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:05 WIB
X