KLHK Akan Tuntut Perdata Perusahaan Asal Thailand dalam Kasus Montara

photo author
- Sabtu, 2 April 2022 | 09:26 WIB
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan. (dok)
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan. (dok)


JAKARTA, AYOSEMARANG.COM - Pada Maret 2021 lalu, Pengadilan Federal Australia di Sydney akhirnya memenangkan gugatan class action sebanyak 15,481 petani rumput laut dan nelayan di Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap PTT Exploration dan Production (PTTEP), sebuah perusahaan asal Thailand.

Gugatan dilayangkan atas tumpahan minyak dari ledakan anjungan minyak di lepas pantai Montara milik PTTEP. Hingga saat ini, tumpahan minyak tersebut telah mengakibatkan dampak serius terhadap lingkungan, kesehatan, dan mata pencaharian masyarakat di wilayah pesisir dan laut Timor Barat, NTT.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Alue Dohong mengatakan pihaknya akan mengambil langkah hukum berupa pengajuan tuntutan perdata di pengadilan negeri dalam penyelesaian kasus ini. Langkah ini menyusul PTTEP karena dinilai telah menyebabkan ecological distraction di perairan Indonesia.

Baca Juga: Benarkah Orang Berpuasa Lebih Gampang Ngantuk? Ini Faktanya

"KLHK ditugaskan untuk melakukan penuntutan perdata sebetulnya akibat dari ecological distraction, ecological cost yang diakibatkan dari adanya tumpahan minyak ini," kata Alue Dohong dalam dalam Konferensi Pers yang digelar Forum Merdeka Barat (FMB) 9 secara daring bertema "Optimasilasi Penyelesaian Kasus Montana" Jumat 1 April 2022.

Upaya hukum perdata di Pengadilan Negeri ini, Alue menjelaskan, agar perusahaan (PTTEP) mau membayar ganti rugi terhadap ecological distraction yang disebabkan kelalaian dalam kegiatan operasinal perusahaannya.

Sebetulnya, tambah Alue, jika pihaknya merinci, ada banyak kerugian bagi Indonesia dari tumpahan minyak milik PTTEP ini. Antara lain, Alue menyebutkan, ada kerugian secara ekonomi, ekologikal dan kesehatan.

"Jadi sebetulnya kalo kita bicara ini ada economic, ecological dan health cost akibat dari adanya pencemaran atau tumpahan minyak oleh PTTEP di Montara ini," terangnya.

KLHK, kata Alue telah menyiapkan sejumlah langkah dalam mengoptimalisasi penyelesaian kasus ini. Pertama setelah Perpres sudab keluar adalah memastikan kembali penuntutan, termasuk mengidentifikasi beberapa tergugat baru.

Selanjutnya, pihaknya juga menerbitkan surat kuasa khusus baru, baik bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di internal KLHK ataupun Kejaksaan dan Mahkamah Agung, maupun advokat yang ditunjuk dalam membantu menyusun tuntutan atau gugatan.

"Berikutnya, KLHK akan melakukan, menyiapkan dan melengkapi alat bukti. Dulu awalnya kita sudah menghitung sebetulnya. Estimasi waktu itu nilai tuntutan kerusakan ecological itu sekitar Rp21 triliun untuk kerusakan rumput laut, biota perairan, manggrove dan lain sebagainya," urainya.

Kemudian nilai yang kedua waktu itu adalah untuk recovery. Nilai rehabilitasi kerusakan saat itu, kata Alue, lebih kurang sekitar Rp6 trilun. Sehingga, total
estimasi kerugian yang harus dibayar PTTEP berdasarkan perhitungan saat itu mencapai Rp27 triliun.

"Tentu, kita akan melakukan pemutahiran data-data tersebut. Nah, keputusan Pengadilan Federal Australia memenangkan para petani merupakan alat bukti baru ya. Alat bukti yang kuat kita bawa. Tentu kita akan melengkapi lagi dengan saintifik evidence," tukasnya.

Sementara itu, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdy Tanoni dalam kesempatan itu menyampaikan apresiasi kepada pemerintah yang telah mengambil langkah serius membantu masyarakat terdampak dalam upaya menuntut hak-hak mereka.


"Pertama, saya menyampaikan terima kasih kepada Pak Luhut Panjaitan selaku Menteri Koordinator Kemaritiman, yang walaupun dalam tiga empat tahun kami berjalan, beliau selalu berada di samping kami," kata Tanoni.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: arri widiarto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X