3. Surat Kartini kepada Nyonya Abendon, 4 September 1901
“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi”.
4. Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
5. Surat Kartini kepada Nyonya Abendon, 10 Juni 1902
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan”.
Baca Juga: Jenderal Soedirman hingga Kartini, Ini 10 Pahlawan Nasional yang Lahir di Jawa Tengah
6. Surat Kartini kepada Nyonya Van Kol, 21 Juli 1902
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang agama Islam patut disukai”.
7. Surat kartini kepada Nyonya Abendanon, 12 Oktober 1902
“Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah”.
8. Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut sebagai peradaban?”
9. Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 25 Agustus 1903
“Ya Allah, alangkah malangnya, saya akan sampai di sana pada waktu Puasa-Lebaran-Tahun n Baru, di saat-saat keramaian yang biasa terjadi setiap tahun sedang memuncak. Sudah saya katakan, saya tidak suka kaki saya dicium. Tidak pernah saya ijinkan orang berbuat demikian pada saya. Yang saya kehendaki kasih sayang dalam hati sanubari mereka, bukan tata cara lahiriah!”