wisata

Pulang ke Omah Minggir: Penegasan Romantisme Jogja dengan Kuliner Tradisional di Pinggir Sawah

Sabtu, 1 Februari 2025 | 16:31 WIB
Salah satu spot favorit di Omah Minggir karena sambil makan bisa melihat sawah. (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)

YOGYAKARTA, AYOSEMARANG.COM - Saya tidak akrab dengan romantisme Yogyakarta dan tidak pernah setuju dengan penilaian itu. Sejauh ini, orang-orang di dekat saya, menyarankan pergi ke Jogja jika ingin pelesir atau sekadar menepi di akhir pekan. Jogja seolah paling istimewa dan makin hiperbola saja sejak ada quotes dari Joko Pinurbo yang bilang Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan.

Namun kemudian saya membuat pengecualian ketika berkunjung ke Omah Minggir.

Untuk menuju Omah Minggir bisa dilalui dari berbagai arah karena lokasinya berada di Sleman atau tepatnya di Ngaranan, Sendangrejo, Minggir. Namun saya kemarin dari Magelang, jadi bisa memotong jalan lewat Jalan Magelang-Yogyakarta.

Dari Jalan Magelang-Yogyakarta ke Omah Minggir jaraknya kurang lebih 30 km dan memakan waktu 30 menit. Namun perjalanan tidak menjemukan karena kanan-kiri lingkungannya sawah dan ada siluet-siluet gunung di kejauhan yang sama-samar tertutup awan. Belum lagi sungai-sungai dan irigasi yang banyak melintas.

Baca Juga: Menyimak Video Wirausaha Muda, Kunci Jawaban Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas 9 Halaman 114

Begitu sampai di Omah Minggir, mobil yang saya tumpangi sempat kesulitan mencari parkir. Sebab Omah Minggir lokasinya di tengah pemukiman warga. Lalu seorang pria paruh baya keluar. Dia mengenakan celana pendek, tak beralas kaki dan pakai jersey Borobudur Marathon tahun 2017, namanya adalah Yulius Usman Pardiana (55).

Omah Minggir tampak dari depan dan banyak ditumbuhi rerimbunan pohon. (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)

Yulius cukup peka untuk melangkah keluar. Dia seolah tahu bahwa itu pelangganya dan sedang kesulitan parkir. Dengan aba-aba seadanya, dia mengarahkan tempat parkir untuk mobil saya.

Usai memarkir mobil saya masuk Omah Minggir. Sepengetahuan saya, tempat ini adalah rumah makan yang ada homestaynya. Atau homestay yang punya rumah makan. Atau keduanya juga boleh deh, rumah makan dan homestay. Namun ini yang bikin saya tertarik:

Begitu masuk ke Omah Minggir saya sudah disambut rerimbunan pepohonan dan berbagai tanaman. Saya memasuki pintu kayu Jawa kuno yang kemudian menuju ke sebuah joglo yang luas. Di sini terdapat berbagai interior rumah khas Jawa lama termasuk meja-kursi juga ada sejenis saung.

Ketika sedang menatap sekitar, telinga saya dimasuki suara gemericik air yang mengalir deras. Saya rasa suara itu lebih menenangkan daripada suara-suara lagu band indie yang selalu disetel di setiap cafe. Lalu tak lama, kesiur angin melintas. Menerobos celah-celah rerimbunan tumbuhan dan secara halus menerabas tubuh saya. Sejenak saya seperti masuk di prosanya Yasunari Kawabata.

Baca Juga: Kisah Patung-Patung di Kelenteng Tay Kak Sie dan Dewi Kwan Im yang Sering Dimintai Umat Mohon Petunjuk

Yulius kembali hadir untuk menyodorkan lembaran menu makanan. Dari dapur saya lihat dia bekerja bersama dua perempuan, yang salah satunya adalah istrinya. Saya suka bagian ini. Mereka tidak memakai seragam layaknya pekerja cafe, natural saja dan cukup membuat saya seperti pulang ke rumah pakde.

Sebagaimana yang saya gambarkan tadi, ada dua bagian di Omah Minggir. Rumah makan dan homestay. Untuk homestay lokasinya tepat di samping joglo. Semalam harganya Rp 250 ribu. Saat saya di sana, homestay tampak penuh lalu ada dua Warga Negara Asing (WNA) yang keluar kamar.

Halaman:

Tags

Terkini