Untuk sampai ke sana, kita perlu beberapa hal. Pertama, Bioinformatics Kit Murah. Raspberry Pi + software open-source untuk 34 provinsi. Kedua, Kompetisi “DNA Hackthon”. Ajang tahunan bagi siswa analisis genom lokal. Ketiga, Guru-Guru Inovator, yang berani mengganti LKS dengan proyek analisis data nyata. Keempat, Kebijakan Berpihak. Kurikulum luwes yang tak kaku pada referensi atau buku usang.
Bioinformatika bukan ilmu untuk disimpan di menara gading. Ia harus jadi bahasa sehari-hari—seperti gosip artis atau resep rendang. Karena di tangan generasi yang melek data, DNA bukan lagi misteri, melainkan kanvas untuk menulis masa depan.
Beberapa contoh kasus dan nama di atas memang fiktif namun futuristik dan aplikatif. Saat kita berbicara tentang masa depan, jangan bayangkan pabrik robot di Silicon Valley atau laboratorium canggih di Eropa. Bayangkan anak-anak desa di Indonesia yang mendiskusikan CRISPR-Cas9 di antara kebun kopi, atau siswa SMA yang meneliti DNA ikan lokal untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut.
Bioinformatika adalah revolusi yang bisa (dan harus) membumi. Jika kita gagal membawanya ke sekolah-sekolah, kita bukan hanya kehilangan peluang, tapi juga membiarkan ilmu ini tetap eksklusif bagi segelintir orang. Saatnya membuka pintu lebar-lebar: untuk siswa, guru, dan siapa saja yang berani bermimpi besar.
Demikian legenda membuminya bioinformatika dituliskan. Semoga menginspirasi dan bermanfaat untuk semuanya.
Penulis : Dokter Dito Anurogo MSc PhD, alumnus PhD dari IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar Indonesia, peneliti Institut Molekul Indonesia, penulis puluhan buku, penulis-trainer berlisensi BNSP, pengurus Masyarakat Bioinformatika dan Biodiversitas Indonesia (MABBI), aktif di berbagai organisasi, reviewer puluhan jurnal nasional-internasional.***
