AYOSEMARANG.COM -- Tim Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Semarang (PkM USM) memberikan edukasi berbasis budaya kepada anak-anak diaspora Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia. Kegiatan ini dikemas dalam simulasi pasar tradisional Indonesia dan bertempat di Sanggar Belajar Indonesia, baru-baru ini.
Tim PkM USM terdiri dari Ketua Faisal Yusuf, B.A., M.M., M.B.A., serta anggota Dr. M.M. Shinta Pratiwi, M.A., Andi Nur Cahyo, S.Pd., M.Pd., dan Desika Nurjannah, S.Pd., M.MPar.
Menurut Faisal, kegiatan tersebut diikuti oleh 30 anak Indonesia berusia 7–12 tahun yang tergabung dalam komunitas diaspora. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan literasi ekonomi dan numerasi sekaligus memperkenalkan budaya Indonesia kepada generasi muda diaspora.
"Literasi numerasi merupakan salah satu keterampilan dasar yang penting bagi perkembangan anak-anak, yang mempengaruhi kemampuan problem solving dan logika mereka," ujar Faisal.
Mengusung pendekatan experiential learning, anak-anak diajak bermain peran sebagai pedagang dan pembeli dalam simulasi pasar tradisional. Mereka belajar langsung konsep jual-beli, menghitung harga, promosi produk, hingga mengenali komoditas khas Indonesia.
Materi edukasi mencakup tiga aspek utama:
Literasi Ekonomi Dasar – pengenalan konsep jual-beli, strategi penentuan harga, hingga promosi produk.
Numerasi Praktis – penggunaan uang mainan (rupiah dan ringgit), penghitungan kembalian, serta penjumlahan sederhana.
Edukasi Budaya – mengenalkan produk khas Indonesia seperti buah-buahan, jajanan pasar, dan kerajinan tangan.
"Anak-anak sangat antusias. Namun, salah satu highlight yang cukup mencengangkan adalah adanya anak usia 8 tahun yang masih belum bisa menghitung dan menulis angka dengan benar. Hal ini menjadi pengingat pentingnya edukasi dasar bagi anak-anak diaspora yang mungkin kurang mendapat akses pendidikan berkualitas," ungkap Faisal.
Dari hasil evaluasi, kegiatan ini menunjukkan dampak positif terhadap peningkatan kemampuan numerasi anak-anak. Skor rata-rata numerasi meningkat dari 8,5 menjadi 9,2 (dalam skala 10) setelah pelatihan berlangsung.
"Meski hasilnya positif, kegiatan ini juga mengungkap tantangan edukasi bagi anak-anak diaspora, terutama dalam keterampilan dasar seperti berhitung dan menulis. Salah satu peserta, anak usia 8 tahun, diketahui belum mampu menghitung angka dengan benar dan mengalami kesulitan menulis angka secara rapi. Kondisi ini menunjukkan pentingnya edukasi numerasi dan literasi sejak dini, terutama bagi komunitas diaspora yang memiliki keterbatasan akses pendidikan formal," jelasnya.
Ke depan, tim USM merekomendasikan pengembangan modul edukasi yang lebih sederhana dan visual, serta kolaborasi dengan pakar pendidikan seperti psikolog anak dan ahli pedagogi budaya.
"Kami juga menyarankan untuk replikasi program yaitu mengadopsi kegiatan serupa di komunitas diaspora lainnya di Malaysia dan negara lain," ujar Faisal.