Hari pun sedikit bercerita jika kampungnya punya sejarah panjang. Kampung yang berada di Jalan MT Haryono itu adalah hadiah dari Belanda pada 1740 kepada Kyau Bustam.
Setelah diberi, Kyai Bustam membuat sumur pada 1742. Kemudian setelah sumur jadi, Kyai Bustam sering memandikan cucu-cucunya secara sakral menjelang bulan puasa.
"Dari sumur itu Kyai Bustam nggebyuri cucu-cucunya menjelang bulan puasa. Di situ dipertahankan sampai sekarang. Usia gebyuran ini sudah 300 tahun lebih tapi kami hidupkan lagi mulai 2013. Ini yang ke-14. Jatuh hari minggu sebelum puasa," paparnya.
Sementara dari Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang, Wing Wiyarso mengatakan Gebyuran Bustaman ini merupakan salah satu budaya khas Semarang yang tidak ada di tempat lain.
Baca Juga: Cukup Berkembang, Pemkot akan Bikin Pantai Tirang Semarang Jadi Destinasi Wisata Favorit
"Ini merupakan salah satu upaya kita melestarikan sejarah dengan teman-teman dari Komunitas Hysteria maupun jajaran kampung bustaman bagaimana kita mengangkat tradisi yang ada dan sangat luhur pada masa jelang bulan Ramadhan ini biasanya menyucikan diri," ungkapnya.
Bersama Pemerintah Kota Semarang, Wing berupaya untuk melestarikan tradisi ini dan memasukan sebagai salah satu agenda wisata.
"Tradisi ini patut dilestarikan sehingga dibentuk kegiatan Gebyuran Bustaman dan kami jadikan untuk mengisi sektor pariwisata di kota Semarang jadi teman-teman semua kegiatan ini rutin dilakukan setiap setahun sekali dan insyaallah tahun depan semoga lebih menarik supaya bisa mendatangkan wisatawan," paparnya.