SEMARANG, AYOSEMARANG.COM -- Gebyuran Bustaman di Kampung Bustaman Semarang sudah digelar sebanyak 14 kali sejak 2013.
Meski demikian, Gebyuran Bustaman bukan hadir baru kemarin melainkan diperkirakan sudah ratusan tahun sejak pendiri kampung Kyai Kertoboso Bustam.
Sesepuh Kampung Bustaman, Hari Bustaman menuturkan semua prosesi gebyuran memiliki makna.
Baca Juga: Pertahankan Tradisi Tahunan Jelang Ramadhan, Warga Kampung Bustaman Semarang Saling Perang Air
Misalnya saat hendak masuk kampung semua peserta, baik warga kampung maupun masyarakat umum mukanya bakal dicoreti.
"Coretan itu perlambang dosa. Perwujudan dari diri kita yang sudah cukup banyak tercoreng," ungkapnya saat ditemui usai prosesi Gebyuran Bustaman, Minggu 3 Maret 2024.
Kemudian setelah dicoret-coret, akan ada prosesi siraman anak-anak kampung. Siraman ini sebagai simbol asak muasal tradisi gebyuran bermula yang dilakukan oleb Kyai Bustam.
Setelah selesai simbolis gebyuran anak-anak, lalu semua orang saling melempar air.
Baca Juga: Yoyok Sukawi Melenggang Lagi ke Senayan, Suporter: PSIS Tolong Dijuarake Bosku
"Setelah itu ada ritual gebyuran. Gunanya implementasi dari bersih dosa. Menjelamg puasa. Dosanya lebur," paparnya.
Warga saling melempar bungkusan air yang berwana-warni. Bungkusan-bungkusan ini juga sebelumnya sudah disiapkan dengan diberi pewarna.
Sepanjang prosesi, semua orang yang berada di kampung itu basah kuyup. Tidak tua dan muda, semua hanyut dalam serunya gebyuran Bustaman.
Usai acara, peserta secara bersama-sama makan Gule Bustaman sebagai hidangan khas di Kampung Bustaman yang terkenal juga sebagai kampung jagal kambing.