Pasca dampak perang dunia di tahun 1950-an, warga Pedurungan yang mengungsi ke daerah Demak dan Purwodadi karena serangan sekutu kembali ke daerahnya sebelum bulan Ramadan.
"Sekutu pulang tahun 1951. Warga kembali ke wilayah masing-masing, dari Jaten Cilik, Gasem, Kudan, Pedurungan Lor, Tanjungsari, semua kembali," kata Munawir menceritakan kisah yang didengarnya turun temurun.
Saat itu, warga masih serba kekurangan. Maka ketika perayaan Syawalan, warga berbagi ketupat dibelah dan diberi sayuran.
Ada makna juga dalam ketupat itu, yaitu menandakan Lebaran sudah berakhir dan simbol saling bermaafan.
"Dalam kesederhanaan, ada perayaan Syawalan, maka diadakan ketupat yang dibelah tengahnya, sebagai tanda Lebaran hari raya sudah selesai, silahkan beraktivitas biasa. Simbol sudah bermaafan di antara teman, saudara, tetangga. Simbol kesederhanaan, perayaan tidak harus mewah tapi penuh makna," ujarnya.
Penamaan Kupat Jembut sendiri merupakan plesetan untuk mudah mengingat. Nama itu makin tenar di tahun awal 2.000-an. Seiring berjalannya waktu, warga menyisipkan uang untuk dibagi ke anak-anak.
"Tahun 90-an itu pernah ketupat kosong (kulitnya saja), terus diisi uang," ujarnya.
Lebih jauh, Munawir menyebut, tradisi kupat jembut ini sempat dijadikan simbol perlawanan terhadap komunis. Warga mengganti ketupat dengan petasan saat Syawalan dan menyalakannya.
"Ada perkembangan dalam perayaan. Dulu tahun 1965 waktu G30S PKI yang dibagi mercon, bukan ketupat. Simbol perlawanan terhadap komunisme," tegasnya.
Perayaan Kupat Jembut juga dilakukan di RW 1 Pedurungan Tengah, berlangsung lebih tertib karena pembagian ketupat dan uang dilakukan bergilir, tidak dengan mengikuti sumber suara.
Anak-anak berbaris rapi, kemudian mendatangi satu persatu rumah warga yang menyiapkan ketupat ataupun uang. (*)